Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah menginisiasi pengubahan basis penghitungan tax allowance untuk mendorong lebih banyak aliran investasi kepada sektor padat karya.
Potongan pajak progresif pada skema tax allowance yang baru nantinya tidak lagi merujuk kepada besaran nilai investasi, tetapi merujuk kepada tingkat penyerapan tenaga kerja.
“Regulasinya masih dibahas. Semoga bisa keluar dan dijalankan mulai tahun ini,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Menurutnya, penerapan insentif tersebut dapat mengakselerasi pertumbuhan investasi pada sektor industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Beberapa di antaranya merupakan industri makanan minuman, tekstil, dan alas kaki. “Terutama yang padat karya dan orientasinya ekspor. Itu yang kami dorong,” ujarnya.
Airlangga menyatakan pemerintah bakal menetapkan benchmark angka serapan tenaga kerja sebagai tolok ukur basis potongan pajak penghasilan badan pada tax allowance.
“Fasilitasnya itu nanti diberikan semacam benchmark. Dapatnya berapa persen berbeda antara yang menyerap 1.000 tenaga kerja, 3.000 tenaga kerja, sampai yang melebihi 5.000 tenaga kerja.”
Rencana pengubahan skema tax allowance mendapat dukungan dari pengusaha yang bergerak pada bisnis padat karya. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman menyatakan gagasan tersebut dapat mengarahkan aliran investasi kepada bisnis yang menyerap banyak tenaga kerja.
Menurutnya, manfaat insentif tax allowance hanya terasa pada industri yang padat modal. Padahal, banyak pabrikan yang penyerapan tenaga kerjanya tinggi meski tidak berinvestasi besar.
“Saat ini insentif pajak hanya berdasar besaran nilai investasi. Maka hanya industri tertentu saja yang bisa mendapat manfaatnya,” ujarnya.
Adhi mengusulkan pengubahan basis penghitungan tax allowance perlu disertai dengan penyesuaian regulasi ketenagakerjaan. Dengan begitu, industri tak serta merta mendorong otomasi pada kegiatan manufaktur.