Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah diminta memperbesar non tarif measure sebelum mempercepat perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement.
Hal itu merupakan salah satu dari target pemerintah untuk menyelesaikan 16 perjanjian dagang internasional dalam waktu dekat.
Menanggapi hal itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menganggap rencana mempercepat FTA berdampak positif bagi Indonesia.
“Keuntungan buat Indonesia, kita bisa penetrasi ke pasar ekspor non tradisional yang selama ini hambatan dagangnya besar, misalnya Afrika, dan Timur Tengah. Momentum untuk dorong ekspor tepat ketika harga komoditas sepanjang 2017-2018 diprediksi boom,” kata Bhima kepada Bisnis, Minggu (24/9/2017).
Namun, di sisi lain, Bhima mengingatkan agar pemerintah menjaga produsen dalam negeri dari banjir impor khususnya barang konsumsi.
Baca Juga
Dia menuturkan setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah. “
"Pertama harus diperkuat produk substitusi impornya contohnya adalah produsen baja Indonesia yang terus merugi karena kalah efisien mulai diberi aneka insentif baik fiskal maupun non fiskal,” katanya.
Solusi kedua adalah memperbesar NTM (non tarif measures) untuk proteksi dalam negeri . Sebab, negara yang bergabung dalam FTA bukan berarti terbuka tanpa adanya proteksi.
Langkah Ini dianggap penting agar perdagangan bebas tidak membunuh pemain lokal.
Sebagai contoh, berdasarkan data WTO pada 2016, China memiliki sebanyak 2.194 NTM, sementara Indonesia tergolong sebagai negara yang paling sedikit NTM nya yaitu 272.
“Pertahanan terhadap produk impor harus diperkuat, kalau main percepat FTA saja terutama ke negara yang defisit perdagangannya besar misal sama China sama saja bunuh diri. Sementara, percepatan FTA bisa dilakukan Indonesia dengan negara yang mencatat surplus perdagangan seperti Pakistan dan India,” katanya.
Sebab itu, dia berharap pemerintah lebih dahulu memperluas NTM sebelum mempercepat perjanjian perdagangan termasuk juga pembahasan RCEP.
“Yang dikhawatirkan dengan perjanjian RCEP adalah impor baja akan menguasai pasar Asean. Padahal baja China terindikasi dumping,” tuturnya.
Dalam hal ini, dia menilai ada sejumlah komoditas yang seharusnya ‘dipersulit’ impornya, seperti tekstil, alas kaki, buah, hingga baja.
Alasannya pasokan lokal masih cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri padat karya, serta proteksi bagi industri perintis atau UMKM.
Adapun akhir pekan kemarin, Kementerian Perdagangan melakukan pembahasan terkait rencana menyelesaikan 16 perjanjian dagang internasional dalam waktu dekat.
“Ya, salah satu ya itu. Ya FTA (Free Trade Agreement) itu kan adalah hal yang perlu disegerakan agar kita punya perjanjian dan kita tidak kesulitan menghadapi persaingan dengan negara-negara lain yang mereka sudah punya banyak FTA dengan banyak negara," kata Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian.
Menurut Darmin, percepatan penyelesaian dianggap memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai contoh soal kelapa sawit. “Kita kan kalau sudah punya FTA bisa saja tarif sawit naik, termasuk juga yang lainnya,” jelasnya.
Dengan demikian, lanjut Darmin, percepatan 16 perjanjian dagang internasional ini harus segera dirundingkan dengan kementerian/lembaga terkait.
Dia mencontohkan, seperti perdagangan Indonesia dengan Turki yang semakin menurun karena tidak memiliki FTA.
“Artinya kita harus berunding itu. Itu benar-benar melaksanakan perundingan. Nah, tapi kita harus punya posisi dasar sebagai negara dan nanti kita undang dulu sejumlah menteri termasuk Menlu untuk mengambil posisi. Habis itu dari sana baru diterapkan kesepakatan-kesepakatan itu dengan negara-negara lain,” ujarnya.
Mengenai target penyelesaiannya, rencana menyelesaikan 16 perjanjian dagang internasional tersebut diprediksi rampung akhir 2017 atau awal tahun mendatang.