Bisnis.com, KARAWANG – Produsen rock wool Indonesia mengkhawatirkan serbuan produk impor untuk komoditas serupa yang mendominasi 50% pasar domestik.
Ivan Kuntara, Managing Director PT Nichias Rockwool Indonesia, menyampaikan sampai kebutuhan nasional rock wool di Tanah Air pada 2017 sebanyak 17.500 ton per tahun. Adapun dari setengah kebutuhan nasional tersebut didominasi oleh produk asing dari China, India, dan Malaysia.
“Kami menjadi pemain tunggal produk rock wool di Indonesia. Patut disayangkan masih banyak produk impor membanjiri pasar domestik,” kata Ivan kepada jurnalis, Kamis, (14/9/2017).
Menurutnya, dampak dari produk impor yang mendominasi sebanyak 50% di pasar domestik membuat pabrikan hanya menjalankan dua line produksi dengan total kapasitas terpasang sebanyak 25.000 ton per tahun. Padahal saat ini produsen rock wool ini sudah bisa memproduksi 35.000 ton per tahun jika tiga line produksi dijalankan secara bersamaan.
Menurut catatan Bisnis, PT Nichias Rockwool Indonesia memiliki tiga line produksi, pertama memiliki kapasitas terpasang sebanyak 5.000 ton per tahun dan yang kedua 10.000 ton per tahun. Selain itu lini produksi ketiga atau yang terbaru ini akan mulai beroperasi secara komersil pada Oktober 2017.
Ivan menjelaskan, jika pembangunan ketiga line produksi tersebut sudah melampaui jumlah kebutuhan nasional. Pabrik dipersiapkan untuk investasi jangka panjang mengingat pertumbuhan konsumsi komoditas tersebut mencapai 10%-15% per tahun.
“Sementara itu, kami menekan utilisasi pabrik agar tidak terjadiu over supply dengan jam kerja hanya Senin-Jumat saja,” imbuhnya.
Haris Munandar, Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin), menyampaikan potensi nasional terhadap komoditas rock wool masih luas. Hal ini dapat dilihat berbagai pabrik yang membutuhkan rock wool untuk mengisolasi panas dan bandara guna menahan polusi suara.
“Memang kebutuhan nasional masih di bawah produksi PT Nichias Rockwool Indonesia. Hal ini terjadi karena pabrikan masih menggunakan produk konvensional seperti glass wool yang memiliki fungsi sama dengan spesifikasi lebih rendah,” kata Haris ketika meresmikan line produksi terbaru PT Nichias Rockwool Indonesia pada Kamis, (14/9/2017).
Menurutnya, Kemenperin telah menghimbau bagi manufaktur yang menggunakan glass wool untuk berpindah ke produk rock wool. Perpindahan tersebut dapat menumbuhkan jumlah kebutuhan nasional akan komoditas rock wool.
“Kami akan membantu keterserapan produsen rock wool nasional karena telah memenuhi standar industri. Produk ini telah memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dan memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 80%,” katanya.
Selain itu, karena PT Nichias Rockwool Indonesia mendukung hilirisasi yang dicanangkan oleh pemerintah maka pabrikan mendapatkan beberapa insentif. Beberapa kemudahan tersebut seperti impor bahan baku dan mesin bebas biaya masuk. Selain itu ada tax allowance yang dapat meringankan keberlangsungan produksi.
Sementara itu, Haris menambahkan untuk meningkatkan daya saing pemerintah akan lebih giat untuk membendung produk rock wool impor. Kalau pun diperbolehkan maka akan diberikan pajak yang cukup tinggi.
Nilai investasi untuk membangun lini produksi ketiga dari pabrik ini mencapai US$40 juta. Perusahaan tersebut berdiri di lahan seluas 72.980 m2 dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 350 orang.