Bisnis.com, JAKARTA — Rasio utang pemerintahan Prabowo Subianto terhadap produk domestik bruto/PDB tercatat sebesar 39,7% per Januari 2025 dan diprediksi IMF mencapai 40,1% pada akhir tahun nanti.
Sejumlah lembaga internasional menyampaikan bahwa posisi utang yang saat ini berjumlah Rp8.909,14 triliun tersebut tergolong rendah.
Sementara mengacu ketentuan Undang-Undang (UU) No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60% dari PDB.
Sejumlah ekonom mengingatkan, meski gap antara realisasi dan batas aman masih ada sekitar 20%, namun kekhawatiran tetap mengintai. Utamanya soal kemampuan bayar pemerintah, mengingat rasio penerimaan pajak tak bergerak naik.
Membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan negara satu kawasan Asean, benar adanya utang tersebut tercatat cukup rendah.
Dalam laporan World Bank Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, rasio utang Indonesia lebih rendah dari negara tetangga Malaysia yang mencapai 64,6% pada 2024 maupun proyeksi 2025 yang mencapai 65%.
Baca Juga
Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Brunie Darussalam tercatat memiliki rasio utang yang lebih rendah dari Indonesia.
Masing-masing sebesar 37,5%, 27%, 14,3%, dan 2,29% pada 2024. Lalu, masing-masing sebesar 36,9%, 27,8%, 15,1%, dan 2,2% untuk proyeksi 2025.
Rasio utang tertinggi tercatat diduduki Singapura yang mencapai 174,3% dari PDB (2024) atau senilai SGD1,29 triliun. Tertinggi kedua ditempati Laos dengan rasio utang mencapai 112,2% terhadap PDB.
Secara umum meski terpantau lebih rendah, Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan hal utama yang menjadi kekhawatiran adalah kemampuan bayar pemerintah yang ditunjukkan oleh besaran rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Ketika rasio penerimaan utang kita terhadap PDB relatif enggak naik-naik, maka sebenarnya penambahan utang baru itu sangat berisiko,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025).
Per 2024, rasio pajak terhadpa PDB atau tax to GDP ratio tercatat sebesar 10,08% atau turun dari pertumbuhan 10,31% pada 2023.
Tauhid menjelaskan risiko dari bertambahnya utang tanpa diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak menimbulkan konsekuensi pembayaran utang menggunakan utang baru alias “gali lubang tutup lubang”.
Adapun pada tahun ini, pemerintah merencananakan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun untuk membiayai APBN 2025. Per akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang senilai Rp270,4 triliun.
Debt to GDP Ratio 2024/2025 (%):
Negara | 2024 (estimasi) | 2025 (proyeksi) |
---|---|---|
Brunei Darussalam* | 2,29 | 2,2 |
Timor Leste |
14,3 |
15,1 |
Kamboja |
27 | 27,8 |
Vietnam |
37,5 | 36,9 |
Indonesia | 39,2 |
40,1 |
Filipina (national government debt) |
60,7 | 60,2 |
Myanmar (public sector debt) | 62,2 |
62,4 |
Thailand |
63,3 | 66 |
Malaysia | 64,6 | 65 |
Laos | 112,2 | 112,2 |
Singapura* | 174,3 | 174,94 |
Sumber: Bank Dunia, IMF, diolah
*data bersumber dari IMF mengacu General Government gross debt