Bisnis.com, JAKARTA - Importir di Pelabuhan Tanjung Priok melaporkan adanya ketidakberesan pengelolaan dan operasional di pelabuhan tersebut kepada Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, sekaligus mendesak PT.Pelabuhan Indonesia II segera membenahinya.
Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengatakan pada era transparansi seperti saat ini pebisnis berhak dengan rasa tanggungjawabnya menyampaikan keluhan atas ketidakberesan layanan di pelabuhan kepada instansi terkait.
“Ada dua hal yang hingga saat ini kami selaku pemilik barang di pelabuhan Priok merasakan ketidakberesan dalam pengelolaan dan operasional di pelabuhan Priok itu. Kami sudah menyampaikannya kepada OP Tanjung Priok kemarin (11/9),” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (12/9/2017).
Subandi mengungkapkan, ketidakberesan pengelolaan dan operasional di pelabuhan Priok yang dikeluhkan GINSI itu yakni; Pertama, masalah kewajiban dan tarif penggunaan Ganty Luffing Crane (GLC ) yang dibebankan kepada pemilik barang di dermaga 114 dan 115 pelabuhan Priok.
Menurut dia, GLC itu merupakan alat yang di investasi oleh PT.Pelindo II untuk percepatan kegiatan bongkar muat, tetapi ternyata alat ini tidak lebih baik produktivitasnya jika dibandingkan dengan alat bongkar muat yang sudah ada di kapal atau ships crane.
“Sudah tidak lebih baik dibanding ships crane tetapi kapal-kapal yang bongkar muat di dermaga 114 dan 115 pelabuhan Priok wajib menggunakan alat tersebut dengan tarif ditentukan sepihak oleh pengelola pelabuhan Priok yaitu Rp.17.500 per ton,” paparnya.
Subandi mengatakan, persoalan penggunaan alat GLC didermaga pelabuhan Priok itu sudah berlangsung cukup lama bahkan sudah lebih dari lima tahun. Namun keluhan terhadap hal ini tidak pernah direspon serius oleh PT.Pelindo II selaku pengelola Pelabuhan Priok hingga saat ini.
Padahal, imbuhnya, pembiaran berlarut-larut kondisi tersebut sangat membebani cost logistik yang menyebabkan industri nasional tidak bisa bersaing akibat harga bahan baku menjadi lebih mahal.
Subandi mengungkapkan, penggunaan alat GLC dan penetapan tarif sepihak tersebut melanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku sebab seluruh tarif jasa layanan di pelabuhan semestinya ditetapkan melalui kesepakatan dengan pelaku usaha yang diwakili asosiasi terkait di pelabuhan.
“Justru kami melihatnya Pelindo II dalam menyiapkan alat GLC itu kurang tepat dalam merancang investasi sehingga dibebankan kepada pengguna jasa dan importir,” paparnya.
Disisi lain, ujar dia, terdapat unsur pemaksaan dalam penggunaan alat GLC kepada pemilik barang padahal pemilik barang tidak membutuhkan alat tersebut sebab pemilik barang sudah bayar freight termasuk biaya alat bongkar muat yang tersedia di kapal.
Kedua, menyangkut pelayanan pemeriksaaan fisik peti kemas impor yang wajib periksa kepabeanan dan karantina atau behandle di fasilitas New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) yang hingga saat ini merugikan pelaku usaha di pelabuhan Priok.
Subandi mengatakan, buruknya layanan behandle di NPCT-1 itu karena selain lambat dari akses, infrastruktur dan suprastruktur yang tidak memadai juga sistem yang belum mengakomodasi kepentingan percepatan pelayanan karena masih manual termasuk untuk pembuatan gate pass, pembayaran dan lokasi pembayaran/billing yang berjarak cukup jauh..
Bahkan,ungkapnya, akibat pelayanan yang amburadul di NPCT-1 pernah salah delivery kontainer kepada pemilik barang. Diketahui ada kesalahan ketika kontainer sudah sampai ke gudang pemilik.
“Namun ketika dibuka pintu kontainer ternyata barangnya tidak sesuai yg diimpor. Saat di laporkan ke pihak NPCT-1 ternyata benar ada kesalahan delivery kontainer.,” ujar dia.(k1)