Sepanjang pekan ini, beberapa kali saya merasa memperoleh pencerahan.
Satu pencerahan datang dari sahabat lama, Budi Hikmat, ekonom yang kini menjadi fund manager, yang mengingatkan tentang perlunya taubatan nasuha. Dalam kamus bahasa Indonesia, arti kata itu adalah “kapok sekapok-kapoknya”.
Ini bukan tobat terkait dengan urusan ibadah dengan Tuhan, melainkan tobat dalam perilaku keuangan, pribadi maupun pengelolaan keuangan negara. Lebih spesifik, Budi mengaitkan dengan isu daya beli yang sempat rame, yang menurutnya “turun seolah-olah”.
Budi menggarisbawahi teori Prof Rhenald Khasali, yang mengaitkan isu daya beli dengan proses disruption di banyak bidang.
Maka, kalau boleh, saya ingin menjuluki Prof Rhenald, Guru Besar dari Universitas Indonesia itu sebagai “disruptive opinion maker”. Mengapa? Gara-gara Prof Rhenald-lah isu mengenai disruption itu menjadi hot saat ini, dan banyak orang terganggu dengan cara pandang yang dikemukakannya.
Dan karena pandangannya itu, Prof Rhenald banyak dibuli. Pasalnya, dia bilang, sepinya mal-mal saat lebaran lalu akibat pergeseran cara konsumen bertransaksi, terlebih akibat maraknya belanja daring alias online.
Prof Rhenald kemudian memperkuat asumsi tersebut dengan data yang disodorkan perusahaan pengiriman barang, yang mengalami lonjakan omset dan aktivitas pengiriman. Manajemen perusahaan pengiriman barang itu malah merasa kebingungan, karena lonjakannya bukan main, double digit bahkan triple digit.
Baca Juga
Sebaliknya, menurut sejumlah ‘ekonom’ dan analis, mal yang sepi itu terjadi akibat turunnya daya beli. Lalu dikaitkan pula dengan penjualan otomotif yang turun sepanjang Ramadan. Itu menambah asumsi, bahwa daya beli memang benar-benar anjlok.
Saya geli, ketika memperoleh cerita, ada dua ekonom berantem dalam sebuah grup what-apps, lantaran beda sudut pandang soal daya beli tersebut. Yang satu bilang daya beli turun, satunya bilang daya beli tidak turun. Nah, lho. Kok bisa berantem ya, padahal disiplin ilmu yang digelutinya sama.
Maka, apabila dari peristiwa yang sama, dua ekonom atau lebih punya pandangan yang bertolak belakang, apa yang sesungguhnya terjadi?
Bisa jadi, ini karena ada latar belakang preferensi atau interest yang memengaruhi. Atau, kalau interest dan preferensi absen dalam dispute sudut pandang itu, jangan-jangan yang dimaksudkan adalah “daya beli seolah-olah”.
Nanti dulu. Jangan salah sangka dulu. Itu bisa saja berarti seolah-olah naik, atau seolah-olah turun. Sama saja. Jadi memang seolah-olah.
***
Kemarin siang, saya bertemu dengan seorang peneliti dari Jepang di sebuah hotel di Jakarta. Kami ngobrol pendek, dan sempat mendiskusikan soal ekonomi Indonesia. Peneliti itu pengin mendapatkan gambaran, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Dikatakan, ekonomi Indonesia not bad, atau lumayan. Dia komparasikan itu dengan beberapa negara lain, yang sekarang ini terjun bebas. Dan, dalam ekonomi, katanya, “up and down” itu biasa. Naik dan turun, sesuatu yang lumrah saja. Kalau dalam siklus orang jualan, naik dan turunnya harga, ya tergantung supply dan demand.
Memang begitu. Saya bilang, hingga dua kuartal tahun ini, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di kisaran sedikit di atas 5% adalah "sesuatu banget". Tahun lalu, ekonomi hanya tumbuh sedikit di bawah 5%. Artinya, secara kinerja tahun ini bahkan lebih baik –tentu sedikit—dari tahun lalu. Tapi, apapun, lebih baik, meski sedikit.
Bahkan, konsumsi rumahtangga, yang dibilang oleh sejumlah orang –entah atas tujuan dan maksud apa—mengalami kemerosotan, nyatanya juga masih tumbuh, di atas 4%. Harus dicatat dengan tinta tebal: masih tumbuh, alias naik, bukan turun.
Betul, pertumbuhan konsumsi itu mengalami pelambatan, tidak lagi di atas 5%, tetapi menjadi sekira 4,9%. Tapi, sekali lagi harap dicatat, masih naik, tidak turun. Dengan kata lain, yang terjadi adalah kenaikan atau pertumbuhannya mengalami deselerasi atau perlambatan.
Ibarat jalannya mobil, saya suka sekali menggunakan analogi ini, laju konsumsi masih maju ke depan, tetapi tengah mengurangi kecepatan, sebutlah, dari sekitar 50 km per jam menjadi sekira 40 km per jam. Belum sampai menjadi 20 km per jam, apalagi berhenti. Sang mobil masih jalan ke depan alih-alih berhenti atau stagnan, apalagi mundur.
Dengan kata lain, wacana publik bahwa daya beli melorot, konsumsi rumah tangga turun, dan seterusnya, dan semacamnya, menjadi tidak valid. Apalagi kalau kita menengok angka statistik, ternyata penjualan ritel tidak mengalami penurunan. Itu angka agregat.
Angka individu penjualan perusahaan tertentu, yang mungkin saja ada yang turun bisa saja benar, karena tergantung model bisnis dan strategi masing-masing dalam menghadapi pola disrupsi, yang tak bisa dihindarkan. Yang sigap dan cepat, tentu selamat. Yang lamban apalagi lembam, akan sekarat.
Ada satu catatan yang saya pahami. Para ekonom “dilarang” untuk membuat sebuah kesimpulan hanya berdasarkan satu gejala, atau peristiwa terbatas semata.
Naik atau turun sesaat, tentu tak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan sebuah gambar yang besar. Ia baru merupakan potongan puzzle, yang masih perlu disambung dengan peristiwa lainnya dan dalam kurun waktu tertentu, bukan sekadar satu spot saja. Baru setelah itu, akan ketahuan gambar besarnya.
***
Terus terang saya berseberangan dengan persepsi umum, yang kerap menyatakan ekonomi Indonesia saat ini kepayahan. Mungkin benar apa yang dikatakan Budi Hikmat, bahwa daya beli “seolah-olah turun”. Maka ekonomi pun juga payah, tapi “seakan-akan payah”.
Jelas, saya tak terlalu suka dengan kinerja ekonomi yang masih begini-begini saja. Ia masih perlu digenjot naik. Tapi juga tidak fair kalau ikut arus beramai-ramai mengatakan, ekonomi payah.
“Seakan-akan payah”, mungkin ada benarnya, karena berselaput awan wacana, bahwa “seolah-olah” daya beli turun, utang luar negeri menumpuk, penerimaan pajak tersendat, krisis garam mencuat, gairah usaha melempem, dan seterusnya, dan semacamnya. Banyak yang berselimut wacana, dan nuansa “seolah-olah”.
Silahkan ikut berwacana, tapi saya punya pendirian yang berbeda. Jelas, angka statistik menggarisbawahi pertumbuhan ekonomi yang relatif signifikan. Data itu tak bisa disangkal lagi.
Pak Jokowi pernah bilang, ekonomi mengalami anomali, karena profil makro dan mikronya dianggap tak sejalan. Tapi buat saya, tidak ada anomali ekonomi, apalagi misteri. Ini proses yang tengah berjalan, di mana ekonomi tampaknya justru sedang berjalan menuju profil “new normal”.
Banyak fund manager global, yang menyebutkan bahwa perekonomian dunia saat ini –dan spesifik termasuk Indonesia—sedang bergerak mengalami rekomposisi, menuju profil “new normal”.
Seperti apa profilnya, kita belum tahu. Sebab Badan Statistik pun sampai hari ini masih berupaya mempelajari aneka aktivitas ekonomi baru, terutama berbasis digital, yang masih lepas dari pantauan statistik nasional.
India adalah salah satu contohnya, yang kini menikmati rekor statistik pertumbuhan ekonomi di kisaran 7%. Padahal, sebelumnya hanya di kisaran 4%, dan berubah drastis tahun 2015 lalu ketika melakukan penyesuaian statistik akuntansi nasional.
Namun untuk lebih memudahkan cara memaknainya, sederhana saja. Baru-baru ini, World Economic Forum mengeluarkan hasil riset yang menunjukkan perilaku belanja anak-anak muda, yang kebanyakan lebih banyak traveling dan menikmati hidup.
Mereka ini, yang disebut generasi millennials, adalah para penggiat disruptive innovation, yang banyak uang karena kreatif, dan mampu memanfaatkan perubahan teknologi sekaligus pembiayaan model baru.
Apakah itu cerminan di Indonesia juga? Sedikit banyak, mungkin. Coba saja tengok tempat-tempat wisata di akhir pekan, pasti selalu ramai. Pesan tiket perjalanan kereta dan pesawat di akhir pekan, selalu tidak gampang karena penuh.
Dan dalam catatan Prof Rhenald, Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta yang baru diresmikan, kini sudah kelebihan kapasitas alias “over-capacity”. Bandara Silangit yang menjadi pintu destinasi ke danau Toba, yang baru akhir tahun lalu diperbaiki untuk pesawat kapasitas lebih besar, kini juga sudah over-capacity, begitu pula bandara Kualanamu di Medan.
Dalam konteks yang lebih luas, Budi Hikmat juga melihat, ekonomi Indonesia sedang diperkuat. Maksudnya? Kalau di masa lalu kita pernah membukukan pertumbuhan ekonomi di level 6% dan 7%, boleh jadi ia “seakan-akan kuat”. Padahal sesungguhnya amat tergantung kepada komoditas dan topangan subsidi bahan bakar yang begitu besar. Keduanya adalah stimulus yang tidak sustainable, yang justru menciptakan anomali ekonomi di masa lalu, “seakan-akan kuat”.
Bagi Budi Hikmat, penghapusan subsidi yang kemudian dialihkan secara besar-besaran untuk membangun infrastruktur, adalah bentuk taubatan nasuha yang sesungguhnya. Ia akan memperkuat ekonomi di masa yang akan datang.
Profil risiko pun, untuk tahun depan, sudah semakin membaik karena perencanaan fiskal jauh lebih kredibel. Indonesia juga diyakini lebih siap menghadapi risiko saat ini, dibandingkan dengan tahun 2013 silam, saat puncak badai komoditas menggerus “stimulus seolah-olah” itu.
Apa artinya itu semua? Ekonomi Indonesia saat ini justru tengah menjalani siklus pemulihan. Kata Budi Hikmat, saatnya-lah kini untuk investasi. Ada pemeo, “Recovery story is equity friendly”, maka jangan lagi "wait and see".
Memang betul, kenaikan laju ekonomi, saat ini masih relatif kecil. Tapi, tak elok mengabaikan yang kecil. Ingat filosofi catur: si pion yang kecil bisa menjadi Perdana Menteri. Itulah cara saya melihat ekonomi Indonesia saat ini. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)