Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha logistik mendesak Satuan Tugas Percepatan dan Efektivitas Paket Kebijakan Ekonomi yang diketuai Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan pengawasan sekaligus tindakan menyusul tidak jalannya aturan penghapusan uang jaminan kontainer impor yang selama ini menjadi beban tambahan biaya logistik nasional.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengatakan di Pelabuhan Tanjung Priok saja sampai saat ini hanya ada enam perusahaan pelayaran yang tidak lagi memungut uang jaminan kontainer impor tersebut.
"Kami sampaikan ini bukan hanya untuk kepentingan pelaku logistik di Priok saja, tetapi untuk kepentingan nasional. Kami mendesak Satgas itu juga mengawasi pelabuhan lainnya di seluruh Indonesia," ujarnya kepada Bisnis pada Rabu (23/8/2017).
Widijanto mengatakan berdasarkan data ALFI DKI Jakarta, di Pelabuhan Priok sampai sekarang hanya ada enam perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan keagenannya di dalam negeri yang tidak memungut uang jaminan kontainer tersebut.
Keenam pelayaran dan keagenan kapal itu yakni Orient Overseas Container Line (OOCL), MCC Transport yang diageni Pelayaran Bintang Putih, Maersk Line yang di ageni Pelayaran Bintang Putih, Mitsui OSK Line (MOL), Hapag Lloyd yang diageni Samudra Indonesia, dan Nippon Yusen Khabushiki Kaisha (NYK Line).
Sedangkan 19 pelayaran dan keagenannya yang masih mengutip uang jaminan kontainer yakni; SITC Indonesia, Cosco Indonesia, Yang Ming Line, Evergreen, APL Indonesia, Samudera Indonesia, K’ Line, Caraka Tirta Perkasa Line (CTP).
Kemudian, RCL Line melalui agenya Bhum Mulia Prima, Pelayaran Samudra Selatan (PIL) Wan Hai Lines, Arpeni Pratama Ocean Line, CMA-CNC-CGM Line, SKR Indonesia, Optima Lautan Bersama, K-Carga Agencies Line, Layar Sentosa (Larsen Line), Bahari Cahaya Raya Line dan Freight Liner Indonesia.
Widijanto mengatakan penghapusan uang jaminan kontainer impor sudah diatur melalui surat edaran Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub dan ditindaklanjuti melalui Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah tahap XV.
"Meskipun penghapusan uang jaminan kontainer impor itu sudah masuk Paket Kebijakan Ekonomi XV, namun tidak dipatuhi oleh pelayaran asing. Makanya kami meminta Satgas yang sudah terbentuk itu dapat mengawasi dan menindaknya," paparnya.
Dikonfirmasi Bisnis, Deputi Bidang Industri dan Perdagangan Kantor Menko Perekonomian Edy Putera Irawadi mengatakan pebisnis dan pelaku usaha terkait dapat menyampaikan laporan dan keluhannya kepada Satgas Percepatan dan Efektivitas Kebijakan Ekonomi jika ada kebijakan ekonomi yang sudah digulirkan pemerintah tidak berjalan.
"Silakan disampaikan ke Satgas yang diketua langsung oleh Menkumham tersebut," ujarnya.
Dia mengatakan Satgas tersebut dibentuk untuk mengawal seluruh paket kebijakan ekonomi yang sudah diterbitkan pemerintah.
Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta, Subandi mengatakan sampai saat ini importir masih dikutip uang jaminan kontainer impor dengan nilai bervariatif dan dirasa sangat memberatkan pemilik barang.
Hal itu, kata dia, lantaran sudah bukan rahasia umum lagi kalau sampai saat ini masih banyak perusahaan pelayaran asing yang juga sebagai pemilik depo kosongan di dalam negeri.
"Pelayaran asing itu yang menetapkan uang jaminan, dan menyurvei kerusakan walaupun seolah-olah ada pihak ketiga yang melakukan survei tersebut. Makanya, tarif perbaikan kontainer ditetapkan sepihak bahkan tidak ada standartnya. Pada akhirnya mereka juga yang memotong biaya perbaikan dari uang jaminan itu," ujarnya.
Subandi mengemukakan ada praktik akal-akalan dari pelayaran asing itu. Klaim kerusakan selalu saja dibebankan kepada penyewa/pemakai atau importir, padahal proses kontainer dari mulai dimuat isinya (stuffing) di pelabuhan asal sampai kontainer kosongannya dikembalikan ke depo pelayaran di negara tujuan (Indonesia) ada beberapa pihak yang terlibat antara lain pelayaran, terminal asal (pelabuhan), terminal tujuan, trucking (importir), dan depo kosongan.
"Seharusnya dilakukan survei oleh surveyor independen saat barang keluar dari pelabuhan dan juga dilakukan survei di depo kosongan saat peti kemas dikembalikan kepelayaran," tuturnya.
Subandi mengatakan survey independen itu penting dilakukan untuk menelusuri apakah kerusakan terjadi saat peti kemas dalam tanggung jawab importir atau bukan.
Tapi terlepas dari semua itu, imbuhnya, ada praktik bisnis yang curang dan tidak dibenarkan antara lain pelayaran memiliki usaha depo kosongan sementara tidak ada pihak independen didalamnya untuk meniadakan kecurangan.
Sedangkan terhadap depo empty yang bukan milik perusahaan pelayaran, jika melakukan perbaikan namun dibayar oleh pelayaran jauh dibawah dari biaya yang ditagihkan ke importir oleh pelayaran.
"Terkait hal ini pemerintah dengan tim satgas harus turun sampai ke masalah ini karena inilah salah satu biang tingginya biaya logistik yang tidak terendus karena terbungkus bisnis yang wajar," ujar Subandi.