Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gaduh Beras dan Pertaruhan Kredibilitas Kabinet Jokowi

Kuat terkesan, semua urusan menjadi gaduh. Soal utang gaduh, bahkan ada yang mengancam impeachment. Soal Perppu pembubaran ormas pun gaduh, dan kini merembet ke kisruh beras.
Arif Budisusilo
Arif Budisusilo

Ibarat panas setahun, dihapus hujan sehari. Pepatah yang pas, untuk menggambarkan pengelolaan pangan hari ini, gara-gara gaduh beras. Padahal, baru saja kita mengalami cerita sukses stabilisasi harga pangan di seputar bulan Puasa dan Lebaran lalu.

Muasalnya adalah penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU), disertai keterangan yang bombastis dengan kerugian ratusan triliun yang simpang siur, tanpa akurasi memadai. Saham PT Tiga Pilar Sejahtera, induk perusahaan PT IBU, langsung anjlok seketika.

Terlebih, dugaan kejahatan yang melatarbelakangi penggerebekan itu bergerak dari satu modus ke modus lainnya. Mulai dari dugaan persaingan tidak sehat, penyalahgunaan beras subsidi, penipuan kandungan gizi, pengoplosan produk, pelanggaran harga eceran tertinggi (yang sebenarnya belum berlaku) dan modus lainnya.

Begitu kuat kesan, Satgas Pangan terburu-buru membuat ekspos dan berspekulasi, padahal masih butuh penyelidikan lebih lanjut. Akibatnya, terjadilah kekacauan opini. Apalagi di era penggunaan media sosial yang massive seperti sekarang ini, berlaku hukum “aksi-reaksi”.

Tak terhindarkan, reaksi begitu beragam. Apalagi, pernyataan para pejabat yang terlibat dalam Satgas Pangan bentukan Presiden Joko Widodo yang bertugas mengendalikan harga pangan tidak saja mbulet dan debatable, bahkan begitu mudah dipatahkan dengan logika sederhana sekalipun.

Penjelasan para pejabat yang terlibat, mulai dari Kapolri, Menteri Pertanian, Menteri Sosial, dan Komisi Persaingan, merujuk publikasi media, tak cuma berbeda-beda bahkan bertabrakan satu dengan yang lain. Maka, kacaulah wacana publik. Pabaliut, kata orang Sunda.

Meski masih menyimpan ijazah sarjana dari fakultas pertanian, kalau saya ditanya apa yang sebenarnya terjadi soal polemik beras ini, terus terang saya angkat tangan.

Seorang ekonom senior bahkan mengeluh. “Berbagai berita tentang kasus beras ‘subsidi’ ini sudah semakin membingungkan. Isu utamanya menjadi tidak jelas. Sebagai ekonom, saya ingin tahu apa benar ada penguasaan pasar yang tidak sehat, alias kartel dan pembentukan harga yang tidak sehat?...Sayang media massa malah diombang-ambingkan ke arah yang semakin tidak jelas fakta dan isunya.”

Keluhan itu mungkin saja mewakili kegundahan banyak orang yang lain. Karena itu, saya pun tak ingin masuk ke wilayah substansi soal penggerebekan tersebut, takut menambah pabaliut.

Biarkan penyelidikan berlangsung, dan publik segera memperoleh kesimpulan dan fakta yang sebenarnya terjadi.

***

Yang jelas, hari–hari ini debat publik soal ‘beras subsidi’ itu seperti tiada ujung-pangkal. Di banyak grup aplikasi pesan, sudut pandang dan perspektif para komentator begitu luas. Pro-kontra yang massive. Pihak yang pro menuding ada mafia pangan, sedangkan pihak yang kontra menganggap Satgas Pangan offside.

Bahkan Kementan dituding tidak menghargai inovasi bisnis dalam perdagangan beras. Anda tahu, PT IBU membuat produk beras premium dengan packaging khusus sesuai selera konsumen, guna memperoleh keuntungan dari margin penjualan yang lebar. Dalam konteks itu, malah ada upaya membandingkan beras dengan komoditas lain, seperti kopi yang dijual Starbucks.

Sepintas analogi beras dan kopi itu masuk akal. Namun, tidak fair juga melupakan positioning beras dalam perekonomian, yang jauh beda dan tidak sebanding dengan kopi. 

Beras adalah satu dari sekian bahan pangan strategis, yang di masa lalu disebut sebagai “sembilan bahan pokok” alias sembako. Sebaliknya, tak semua orang kecanduan minum kopi. Kalau mau membandingkan beras, komparasikan saja dengan bahan bakar minyak alias BBM, mungkin akan lebih sepadan.

Saya punya memori, ketika masa kecil tinggal di kampung, keluarga kakek dan para petani selalu punya prinsip, “Ra nduwe opo-opo ra patheken sing penting nduwe beras”. Artinya kurang lebih, nggak usah khawatir kalau kita nggak punya apa-apa, yang penting di rumah ada simpanan beras. Artinya, beras merupakan bahan pangan pokok yang paling pokok bagi penduduk Indonesia.

Ekonom Rizal Ramli, mantan Kepala Bulog dan mantan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid, yang sempat menjadi ‘juru kepret’ sebelum digusur dari Kabinet Kerja Presiden Jokowi, punya keyakinan sejak dulu, agar pemerintah hati-hati mengelola beras. Beras memiliki peran yang sangat sensitif secara ekonomi bahkan ‘syur’ secara politik.

Kegagalan mengelola ketersediaan beras bagi penduduk akan menjadi malapetaka politik. Secara ekonomi, kegagalan mengendalikan harga beras pun juga akan menjadi bencana, karena inflasi bakal sulit terkendali. Di tengah angka kemiskinan yang masih relatif memburuk, kenaikan inflasi akan mempercepat kenaikan rasio penduduk miskin. Ini menjadi risiko politik bagi pemerintahan Pak Jokowi.

Sekadar ilustrasi saja, mengacu pada data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin meningkat dari 27,76 juta pada September 2016 menjadi 27,77 juta pada Maret 2017. Meskipun hanya naik tipis, ini menjadi peringatan alias warning, bahwa berbagai upaya mengurangi kemiskinan belum membuahkan hasil.

Seorang ekonom bahkan berpendapat, dengan batas garis kemiskinan Rp12.000 per kepala per hari, jika pencairan beras sejahtera (Rastra) tidak terlambat pada saat survei BPS dilakukan, mungkin angka kemiskinan akan berbeda. Artinya, akses terhadap beras bagi penduduk di strata sosial rendah ini begitu berpengaruh terhadap status kemiskinan mereka.

Lalu secara bisnis, berdagang beras menjadi sumber cuan menggiurkan. Bukan sekadar karena margin, tetapi lebih karena volume yang besar.

Supaya punya rujukan, kali ini saya sebut angka resmi dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman, volume bisnis beras nasional mencapai 46,1 juta ton setahun. Artinya, apabila penjualan ke konsumen rata-rata Rp10.519/kg, valuasi trading beras mencapai Rp484 triliun.

Saya kira angka itu bisa menjadi gambaran bahwa bisnis beras di negara dengan 250 juta penduduk yang masih doyan makan nasi tiap hari, begitu besar. Maka, tentu saja, potensi keuntungan bisnis beras di negeri ini masih amat maknyus.

Di masa lalu, bahkan 'tataniaga' beras juga menjadi salah satu sumber pendanaan bagi aktivitas politik. Karena dengan menyisihkan Rp100 per kg saja, Anda bisa hitung berapa uang yang potensial 'dimainkan', jika bisa mengendalikan perdagangan beras nasional, yang totalnya mencapai 46,1 miliar kg itu.

Sedikit iseng saya coba hitung, hanya dengan menguasai 10% pasar beras (4,61 miliar kg), dan menyisihkan Rp100 per kg saja, angka yang dapat 'disisihkan' mencapai Rp460 miliar per tahun. Apalagi kalau disisihkan hingga Rp1.000 per kg. Menggiurkan, bukan? Tak heran, jika di masa lalu Bulog menjadi institusi basah dan 'rebutan'.

Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, terlalu banyak pihak yang berkepentingan terhadap beras. Bukan cuma urusan ekonomi, melainkan juga bisnis, dan politik. Bahkan pelaku bisnis beras menjadi powerful secara politik.

***

Bagaimanapun, kisruh beras membutuhkan penanganan yang proper dan kredibel. Di tengah anomali ekonomi yang memerlukan langkah strategis untuk menormalkannya kembali, kisruh beras ini menambah beban politik baru.

Kuat terkesan, semua urusan menjadi gaduh. Soal utang gaduh, bahkan ada yang mengancam impeachment. Soal Perppu pembubaran ormas dan presidential treshhold pemilu 2019 pun gaduh, dan kini merembet ke kisruh beras.

Gaduh beruntun dan berjamaah ini menggiring sebagian masyarakat yang seharusnya lebih produktif malah terjebak wacana kontraproduktif, sibuk berpolemik dan berdebat nggak keruan.

Jangan-jangan, kondisi ini justru semakin memperkuat anomali ekonomi, di tengah berbagai pujian internasional. Bahkan Bank Dunia menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat iri banyak negeri lain.

Rasanya, polemik beras yang berkelanjutan tak akan menyelesaikan apa-apa. Apalagi, apabila benar bahwa polemik dan pro-kontra tersebut lebih banyak berlandaskan atas motif 'rivalitas'. Bukan hanya rivalitas politik, tetapi juga rivalitas bisnis.

Yang jelas, polemik yang tidak keruan ini tak akan mengangkat dan memperbaiki nasib petani. Padahal, semestinya membahas beras tak lepas dari bagaimana seharusnya pemerintah –dan para pihak yang terlibat—lebih fokus pada upaya perbaikan nasib para petani. Bukan sekadar konsumen beras, tetapi para produsen, yakni Pak Tani dan Buruh Tani, selain mengendalikan inflasi.

Satgas Pangan –dan Pak Jokowi—saya kira punya cara, untuk mencapai tujuan itu dengan tanpa memperkeruh keadaan.

Saya jadi teringat jawaban pendek Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat saya bertanya resep keberhasilan mengendalikan harga pada bulan Puasa dan Lebaran lalu. “Ya sedikit kita injek dan ancem,” begitu katanya dengan nada bercanda. Apapun caranya, nyatanya berhasil dan harga pangan saat bulan Puasa lalu relatif stabil, tidak bergejolak.

Saya pun setuju cara pandang Pak Jusuf Kalla. Berbisnis beras jangan sampai diganggu, tapi juga jangan ambil keuntungan terlalu besar, begitu kata Pak JK.

Banyak jalan menuju ke Roma. Banyak cara mengendalikan harga konsumen, agar tidak bergolak liar dan mengancam inflasi. Banyak cara pula menertibkan tataniaga, dan membuat kondisi persaingan usaha yang lebih sehat. Tujuan yang sangat baik, terlebih apabila kepentingan konsumen terlindungi, dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

Namun, apapun caranya, tak perlu membuat para pebisnis menjadi takut berusaha, yang tentu kontradiktif dengan upaya Pak Jokowi sendiri dalam memperbaiki iklim bisnis dan investasi. Karena kredibilitas pemerintahlah, pada akhirnya, yang akan menjadi taruhannya.

Anda boleh suka, atau tidak suka dengan cara pandang ini. Buat saya, suka atau tak suka adalah domain pribadi. Benar atau salah, waktu yang akan membuktikannya. Nah, Bagaimana menurut Anda? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arif Budisusilo
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper