Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah diperkirakan akan kembali melakukan kebijakan penghematan belanja jelang akhir tahun mengingat angka defisit dalam APBN-P 2017 cukup berat.
Bhima Yudhistira, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menuturkan jika pemerintah menambah utang atau menerbitkan SBN maka kebijakannya dinilai sangat agresif.
"Dikhawatirkan akan ada crowding out effect, perebutan dana akan terjadi antara perbankan dan pemerintah yang sama-sama membutuhkan dana di pasar," ujar Bhima di kantor Indef, Senin (10/07).
Akibatnya dari perebutan dana, perbankan akan menaikan suku bunganya walaupun suku bunga acuan atau 7-Day Repo Rate masih dikisaran 4,75%.
Opsi pemerintah adalah pemotongan belanja. Namun, kebijakan ini akan berimplikasi kepada pertumbuhan ekonomi karena kontribusi belanja pemerintah semakin mengecil.
"Pada 2016 terakhir sempat sampai 9%, sekarang terus menurun hingga 6% terhadap perekonomian pada triwulan I," kata Bhima.
Baca Juga
Dengan demikian, belanja pemerintah sulit diandalkan saat ini. Sementara itu, dia melihat pertumbuhan investasi pada semester II akan sangat berat melihat dalam dua tahun terakhir perkembangan investasi asing langsung yang masih menurun dalam dua tahun terakhir.
Pertumbuhannya, lanjut Bhima, akan bergantung kepada pemerintah. Likuditas dan dana repatriasi banyak, sayangnya baru dimanfaatkan di investasi keuangan.
"Belum dipakai untuk membangun pabrik atau industri padat karya," ungkap Bhima. Untuk tumbuh sesuai keinginan pemerintah dalam rancangan APBN-P 2017 sekitar 5,2%, pemerintah perlu mencetak pertumbuhan investasi (PMTB) lebih dari 8%. Padahal, saat ini hanya masih dibawah 5%.
Jika bergantung pada ekspor, Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas sehingga pengaruh gejolak harga di pasar global masih signifikan.
Melihat kondisi ini, dia menegaskan Indef masih mematok target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%-5,1%.