Bisnis.com, JAKARTA - Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan 2017 atau RAPBN-P 2017, ada sejumlah asumsi perubahan yang diajukan oleh pemerintah diantaranya target pertumbuhan ekonomi yang lebih optimistis dari perkiraan semula, inflasi sedikit mengalami kenaikan dari perkiraan semula, juga defisit fiskal yang diperkirakan lebih lebar.
Pemerintah dalam perubahan anggaran yang diajukan menilai defisit fiskal berpotensi melebar menjadi 2,92% terhadap produk domestik brutto (PDB), dari target semula sebesar 2,4% terhadap PDB, meski pemerintah menperkirakan outlook defisit bakal berada pada kisaran 2,67%.
Outlook pemerintah ini sejalan dengan perkiraan Bahana Sekuritas yang memperkirakan defisit fiskal Indonesia sepanjang 2017 akan berada pada kisaran 2,7% terhadap PDB.
Dalam paparannya pemerintah memperkirakan belanja negara bakal naik menjadi Rp 2.111,4 triliun, dari target semula sebesar Rp 2.080,5 triliun sedangkan penerimaan negara diperkirakan turun menjadi Rp 1.714,1triliun dari target semula sebesar Rp 1.750,3 triliun.
Kenaikan belanja negara salah satunya disebabkan oleh kenaikan subsidi energi yang diperkirakan naik menjadi Rp 103,1 triliun dar target semula sebesar Rp 77,3 triliun.
Menurut Ekonom Bahana Sekuritas Fakhruk Fulvian, pemerintah cenderung hati-hati dalam mengurangi belanja subsidi karena pemerintah ingin menjaga kestabilan harga, pasalnya setiap penyesuaian harga listrik dan bahan bakar minyak (BBM) terjadi, selalu langsung diikuti dengan kenaikan harga barang-barang lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan inflasi.
Padahal untuk menjaga kesehatan fiskal yang berkesinambungan serta menjaga kepercayaan pasar terhadap kestabilan ekonomi Indonesia terutama oleh lembaga pemeringkat internasional, pemerintah perlu memperlihatkan konsisten dalam mengurangi belanja subsidi karena bila hal ini tidak dijaga, maka permasalahan risiko fiskal Indonesia yang lama akan terulang kembali.
''Penyesuaian harga BBM akan berdampak positif bagi pasar obligasi karena Hal ini memperlihatkan risiko fiskal Indonesia terjaga, meski melihat harga minya dunia yang terjadi saat ini, memang tidak diperlukan kenaikan harga BBM subsidi,'' terang Fakhrul dalam siaran pers, Senin 10 Juli 2017.
Menurut sekuritas pelat merah ini, sepanjang harga minyak dunia masih berada dibawah USD 50/barrel, belum diperlukan penyesuaian harga BBM subsidi, namun pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga BBM bila harga minyak dunia bergerak diatas USD 50/barrel.
Untuk memberi dampak yang lebih positif terhadap perekonomian, menggenjot belanja untuk infrastruktur pada semester kedua tahun ini sangat diperlukan, sehingga target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada tahun ini bukan hal yang mustahil untuk dicapai.
Dalam RAPBN-P yang diajukan kepada DPR, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2-% dari target semula sebesar 5,1%, sedangkan Bahana memperkirakan perekonomian Indonesia bakal mencapai 5,3%.
Harga minyak mentah diperkirakan naik menjadi US$50/barel, dari perkiraan semula sebesar US$45/barel, perkiraan Bahana sejalan dengan pemerintah. Inflasi diperkirakan akan naik menjadi 4,3%, dari target semula sebesar 4%, sedangkan Bahana memperkirakan inflasi akan mencapai 4,4% pada akhir 2017.
Dengan rencana kenaikan defisit fiskal menjadi 2,92% terhadap PDB, Bahana memperkirakan akan ada kebutuhan tambahan penerbitan Surat hutang pemerintah sekitar Rp60 triliun untuk membiayai belanja pemerintah.
Kenaikan ini belum menjadi ancaman serius terhadap perekonomian Indonesia karena rasio utang Indonesia masih terjaga dibawah 30% terhadap PDB.