Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KRISIS GARAM : Industri Jabar Terancam kolaps

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat mendesak pemerintah segera mengeluarkan izin impor garam secepatnya. Pasalnya, mayoritas industri terancam tidak bisa produksi lagi akibat meroketnya harga garam dan langka.
Petugas memeriksa timbunan garam milik PT Garam (persero) yang disegel di dalam gudang oleh Tim Satgas Pangan Mabes Polri di Gresik, Jawa Timur, Rabu (7/6)./Antara-Zabur Karuru
Petugas memeriksa timbunan garam milik PT Garam (persero) yang disegel di dalam gudang oleh Tim Satgas Pangan Mabes Polri di Gresik, Jawa Timur, Rabu (7/6)./Antara-Zabur Karuru

Bisnis.com, BANDUNG -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat mendesak pemerintah segera mengeluarkan izin impor garam secepatnya. Pasalnya, mayoritas industri terancam tidak bisa produksi lagi akibat meroketnya harga garam dan langka.

Ketua Apindo Jawa Barat Deddy Widjaya mengatakan, saat ini harga garam di pasaran sudah mengalami kenaikan hingga 400% dari semula Rp700 menjadi Rp3.500 bahkan ada yang Rp4.000 per kg. Dengan harga yang tinggi sudah bisa dipastikan industri di Jawa Barat tidak bisa bersaing lagi.

"Bukan hanya mahal, barangnya pun tidak ada. Ini jadi masalah. Kami minta pemerintah jangan membiarkan industri banyak yang gulung tikar akibat tidak adanya garam," katanya, kepada wartawan di Bandung, Jumat (7/7/2017).

Selain itu, industri pengguna garam dan distributor pun seringkali ditakut-takuti oleh aparat kepolisian atas nama satgas pangan bahwa mereka diangap telah menyelewengkan garam konsumsi. Dengan kondisi tersebut, pengusaha menjadi tidak nyaman dalam menjalankan bisnisnya.

Apabila, keberadaan PT Garam tidak bisa memberikan solusi konkret terhadap pemenuhan kebutuhan garam nasional, maka dirinya mendorong agar perusahaan plat merah itu sebaiknya dibubarkan. Kemudian, regulasi untuk impor dibuka seluas-luas untuk semua pihak.

"Kalau masalah garam ini tidak bisa diatasi, maka masyarakat sendiri yang akan menanggung kerugiannya karena harga barang menjadi mahal," ucapnya.

Pasalnya, mayoritas industri strategis membutuhkan garam seperti industri tekstil, penyamakan kulit, aneka pangan hingga farmasi. Parahnya lagi, Jabar merupakan pemakai garam terbesar.

"Menyangkut kebutuhan garam ini, kami sendiri siap menjadi regulator dan mengatur kebutuhan garam untuk memenuhi industri. Buka regulasi seluas-luas untuk impor garam," ucapnya.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengaku sudah menyerah dalam hal penyediaan garam untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan dirinya tak ragu menyebut bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis garam.

"Akan banyak perushaaan kolaps. Karena garam ini merupakan komponen yang tidak bisa disubstitusi," ucapnya.

Berbagai Cara

Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya berbagai cara telah dilakukan asosiasi yang dipimpinnya termasuk mendesak dua kementerian terkait baik Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Tapi, hasilnya pemerintah seolah tutup mata akan kondisi yang dialami industri yang telah berkontribusi sebagai penyumbang devisa US$20 miliar, sedangkan nilai impor garam tidak lebih dari US$1 juta.

"Kebutuhan garam industri mencapai 660 ton. Sedangkan luas lahan garam nasional hanya 3.000 ha dengan kemampuan produksi tidak lebih dari 70 ton per hektar," ucapnya.

Lebih tragis lagi berdasarkan informasi yang diterimanya, di Aceh saat ini tengah kesulitan mendapatkan infus untuk kepentingan medis. Pesoalan garam bukan sekadar isapan jempol, lanjut Cucu, saat ini sudah ada 76 perusahaan memutuskan untuk berhenti produksi.

Salah satu perusahaan distributor garam di Jawa Barat PT Inti Laut mengamininya. Direktur PT Inti Laut Agus Sutikno mengaku dirinya sudah tidak bisa lagi memenuhi permintaan garam industri. Pasalnya, stok yang ada tinggal 50 ton. Sementara satu pabrik setiap harinya memerlukan 20 ton garam.

"Selama ini saya mendapatkan garam dari Cirebon, Indramayu dan Surabaya, tapi mereka tidak memenuhinya karena tidak ada barang. Petani sendiri tidak bisa memenuhi karena gagal panen akibat cuaca," ucapnya.

OOk Hermanto produsen garam dari PD Sumur Sari mengaku, petani tak bisa produksi garam akibat cuaca yang tidak menentu sejak awal tahun. Padahal, biasanya memasuki bulan Juli hingga November merupakan musim panen karena cuaca mendukung.

"Kalau cuaca bagus kami bisa produksi, kalau sekarang setiap mau jemur, hujan turun," paparnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Herdi Ardia
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper