Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Freeport Tak Perlu Takut Prevailing

Pemerintah bisa saja bersifat fleksibel dalam menetapkan pajak PT Freeport Indonesia meski pemerintah telah menyatakan akan tetap menerapkan sistem perpajakan prevailing yang disertai beberapa catatan untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua./Bloomberg-Dadang Tri
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua./Bloomberg-Dadang Tri
Bisnis.com,JAKARTA-- Pemerintah bisa saja bersifat fleksibel dalam menetapkan pajak PT Freeport Indonesia meski pemerintah telah menyatakan akan tetap menerapkan sistem perpajakan prevailing yang disertai beberapa catatan untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). 
 
 
Ketentuan prevailing yang dimaksud Freeport adalah membayar pajak sesuai aturan yang berlaku, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 25%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, Pajak Penjualan (PPn) sebesar 2,3% hingga 3,0%. 
 
 
Sedangkan dari sisi bea keluar, Freeport diwajibkan membayar bea keluar sebesar 5%. Namun, ke depan, sesuai dengan IUPK, Freeport harus membayar 7,5% lantaran pembangunan smelter belum mencapai 30%. 
 
 
Selain mengenai ketentuan perpajakan dan bea keluar, Freeport juga akan dikenakan biaya royalti dari produksi emas dan perak. 
 
 
Untuk royalti emas, sebelumnya berdasarkan kontrak karya (KK), Freeport membayar 1% dan meningkat menjadi 3,75% berdasarkan kontrak IUPK. Sedangkan untuk royalti perak menjadi 3,25% dan tembaga sebesar 4%.
 
 
Budi Santoso, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) mengatakan, kebijakan pemerintah bisa saja berubah atas dasar menjaga stabilitas investasi. 
 
 
"Freeport tidak perlu takut dengan prevailing atau kebijakan pajak yang ekstrim dan progresif karena pemerintah bisa saja bersifat fleksibel. Selain itu, Sri Mulyani [Menteri Keuangan] sering menurunkan dan memberi keringanan pajak demi investasi," katanya, menjawab bisnis, Rabu (5/7). 
 
 
Budi menyebutkan, sah-sah saja, jika pemerintah menerapkan beleid itu. Menurutnya, penurunan pajak yang diberikan perlu disusun dengan melihat perekonomian secara makro agar Freeport tidak terkesan istimewa. 
 
 
Menurutnya, bisa saja, PTFI menilai prevailing tersebut terlalu tinggi. Kemudian, perusahaan tambang emas di Papua itu tidak mampu membayar pajak, royalti dan lainnya sehingga negara tidak mendapatkan pemasukan. 
 
 
"Kalau PTFI tidak mampu membayar, pemerintah bisa apa," katanya. 
 
 
Saat ini, pemerintah dan Freeport tengah membahas perpanjangan kontrak. Adapun tiga hal yang dibahas lainnya adalah pembangunan fasilitas pemurnian (smelter), divestasi, dan stabilitas investasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper