Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Tekstil Sektor Hulu Kuartal II/2017 Turun

APsyFI mengukur penurunan jumlah produksi tekstil sektor hulu pada kuartal II/2017 mencapai 15%-20% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu karena berkurangnya permintaan dan kesulitan mendapatkan bahan baku.
Ilustrasi kegiatan di pabrik tekstil/Reuters
Ilustrasi kegiatan di pabrik tekstil/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - APsyFI mengukur penurunan jumlah produksi tekstil sektor hulu pada kuartal II/2017 mencapai 15%-20% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu karena berkurangnya permintaan dan kesulitan mendapatkan bahan baku.

Redma Gita Wiraswasta, Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APsyFI) menyampaikan bahwa ada beberapa pabrikan tekstil di sektor hulu yang memutuskan untuk mengurangi volume produksi pada Lebaran sehingga menyebabkan jumlah produksi pada kuartal II/2017 turun. Pengurangan jumlah produksinya tersebut dipengaruhi oleh berkurangnya permintaan dari industri tekstil bagian hilir.

APsyFI menilai pengurangan permintaan ini dikarenakan oleh industri tekstil sektor hilir telah menyetok bahan bakunya sejak kuartal I/2017 untuk menghadapi Lebaran.

Selain itu, ada indikasi penurunan demand dari pasar domestik terhadap produk garmen, hal ini menyebabkan produsen pakaian jadi menghentikan sementara produksinya dan mengurangi permintaan bahan baku dari hulu.

Sementara itu, bahan baku yang dibutuhkan oleh industri hulu pun terkena dampak dari kebijakan pemerintah mengenai himbauan agar truk agar tidak beroperasi pada momen mudik dan arus balik. "Ada himbauan dari Kementerian Perhubungan [Kemenhub] mengenai pelarangan truk beroperasi selama 10 hari," ujar Redma kepada Bisnis pada Selasa (4/7/2017).

Redma menjelaskan dampak dari imbauan tersebut bahan baku untuk industri hulu tekstil tidak bisa diangkut. Padahal untuk menjalankan produksi ketersediaan bahan baku tidak boleh telat sehari pun.

Asosiasi memperkirakan volume produksi pada kuartal II/2017 menurun, untuk serat fiber dari sebanyak 150.000 ton pada periode sama tahun lalu kini menjadi 120.000 ton. Produksi serat filamen turun dari 135.000 ton pada kuartal yang sama tahun lalu sekarang menjadi 125.000 ton.

"Melihat dari jumlah produksinya yang menurun, utilitas pada kuartal II/2017 hanya berada pada 60%-65% dari kapasitas terpasang. Hal ini berbeda dengan [triwulan] tahun lalu yang mencapai 70%," katanya.

Redma menjelaskan APsyFI pada 2016 asosiasinya dapat memproduksi serat filamen dan fiber masing-masing sebanyak 830.000 ton per tahun. Harapannya pada 2017 tidak terjadi penurunan signifikan dibandingkan jumlah produksi pada tahun lalu.

Dia menambahkan kendala utama industri tekstil hulu masih seputar daya saing dengan negara lain. Persaingan tersebut dinilai tidak seimbang dengan negara seperti India atau Vietnam yang ongkos produksinya lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

"Masalahnya klasik, ongkos energi Indonesia lebih mahal. Harga gas di Indonesia mencapai US$9,6 per MMBtu sedangkan di India kini sudah US$2,6 per MMBtu, sedangkan listrik di Tanah Air mencapai Rp1.300 per kWh sedangkan di India Rp600 per kWh," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper