Bisnis.com, JAKARTA—Penetapan harga gas hasil produksi Blok Masela yang ditawarkan senilai US$5,86 per MMbtu dianggap masih terlampau tinggi bagi industri. Angka itu berada di atas usulan industri senilai US$3,5 per MMbtu.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono menilai harga gas yang ditawarkan pemerintah membuktikan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan trader ketimbang berpihak kepada pengembangan industri petrokimia hulu.
“Itu membuktikan pemerintah memberikan kesempatan supaya trader lebih leluasa. Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan kepentingan untuk membangun industri petrokomia,” ujar Fajar kepada Bisnis, Selasa (13/6)
Menurutnya, Indonesia pada dasarnya sangat potensial untuk pengembangan industri petrokimia berbasis gas. Sektor industri petrokimia domestik kini masih terlalu bergantung kepada bahan baku impor.
Prospek pengembangan industri petrokimia berbasis gas bisa menjadi langkah strategis mengingat Indonesia memiliki sejumlah titik cadangan gas. Setidaknya sumber gas potensial itu berada di tiga wilayah, yaitu di Masela Maluku, Bintuni Papua Barat, dan Donggi Senoro Sulawesi Tengah.
Bintuni merupakan lokasi yang sangat ideal untuk membangun industri petrokimia terintegrasi mengingat wilayah itu kaya gas alam. Bisnis mencatat penentuan harga gas untuk kawasan industri Teluk Bintuni juga sempat mundur pada tahun lalu. Akibatnya, Pupuk Indonesia sebagai pemilik proyek pun harus memundurkan jadwal pembangunan pabrik.
Saat ini sudah ada dua perusahaan pengolah gas alam Bintuni yaitu Genting Oil Kasuri dan BP Indonesia. Keduanya akan memasok gas untuk Pupuk Indonesia yang akan diolah menjadi methanol, polietilena (PE), dan polipropilena (PP).
Penentuan harga gas ke level keekonomian yaitu di kisaran US$3—US$4 per MMBtu dari saat ini di kisaran US$8—US$10 per MMBtu pun tidak mudah, mengingat beban biaya produksi hulu minyak dan gas di dalam negeri yang memang cukup tinggi.