Bisnis.com, JAKARTA – Fokus pemerintah dalam program 35.000 megawatt yang mengedepankan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan bakar batu bara dinilai sebagian pihak kurang tepat.
Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menyebut perencanaan dan perhitungan pemerintah Indonesia dalam memenuhi pasokan energi terutama listrik di Tanah Air masih lemah.
"Ini terlalu berlebihan, sebagian besar PLTU batu bara apalagi kemudian PLTU besar berada di tempat yang surplus energi," kata Dwi dalam siaran pers, Senin (22/5/2017).
Seperti yang pernah terjadi di Papua, PLTU menggunakan energi batu bara dibangun secara masif. Akhirnya, energi seperti gas dan air yang bisa dimanfaatkan terbengkalai. Beruntung pemerintah cepat mengubah arah kebijakan.
“Indonesia harus bisa konsisten menentukan arah penyediaan energi baru dan terbarukan [EBT]. Sebab, kondisinya semakin tertinggal dari negara lain, di kawasan Asia Tenggara sekalipun,” ujarnya.
Solusinya, ujar Dwi, perlu ada kebijakan yang menarik investor terhadap pengembangan jenis energi baru terbarukan. Dia menerangkan India belum lama ini membatalkan megaproyek pembangkit listrik batu bara digantikan dengan tenaga matahari dan menargetkan menjadi leader solar power pada 2030.
Seperti dilaporkan dari Independent.co.uk, Menteri Energi India Chimanbhai Sapariya membatalkan pembangunan pembangkit listrik ultra mega 4.000 megawatt (UMPP) di negara bagian Gujarat.
Pemerintah India membatalkan pembangunan PLTU itu karena peralihan fokus ke energi terbarukan dan pemerintah Gujarati berencana untuk memasang panel surya di atas atap rumah di negara bagian tersebut.
India menargetkan akan menjadi pemimpin pengembangan tenaga surya dengan mengoperasikan satu terawatt pembangkit listrik energi surya pada 2030. "Harusnya pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan yang sama. Kita sudah sangat terlambat," kata Dwi.
Apalagi, lanjut Dwi, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2020 sesuai Paris Agreement 2011, dengan cara mengedepankan pengembangan 25 energi terbarukan.
“Nah sekarang kan justru bertolak belakang. Pengembangan energi baru terbarukan justru terhambat regulasi yang mengatur tarif jual 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional,” paparnya.
Dwi juga mengaku heran pembangkit listrik berkapasitas 9.000 MW yang akan dibangun di Pulau Jawa dan Bali masih menggunakan batu bara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi menyatakan DEN terus mendorong pemerintah memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan minyak, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, dan batu bara sebagai andalan pasokan energi nasional.
“Energi baru terbarukan merupakan energi masa depan dan negara-negara maju secara diam-diam terus mengembangkan ini dengan pesat,” ujar Rinaldy yang juga Guru Besar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Ali Herman Ibrahim menilai, peran dan partisipasi swasta sangat didorong oleh Presiden Jokowi pada program 35.000 MW. Pada sisi lain, dengan kebutuhan investasi yang begitu besar, tidak mungkin PLN berjalan sendiri dalam megaproyek ini.
Ali menambahkan APLSI sudah melakukan survei kepada pelaku usaha kelistrikan swasta dan sebagian besar mempertanyakan konsistensi regulasi dari pemerintah.
Regulasi yang ada selalu berubah-ubah sehingga membingungkan sektor swasta. Kemunduran perekonomian nasional yang dirasakan saat ini terjadi salah satunya karena tidak bergeraknya sektor swasta. “Regulator dinilai tidak menciptakan iklim kondusif untuk ekspansi pembangkitan. Terlalu banyak intervensi,” katanya.
Kepala Divisi Perencanaan Sistem PLN Adi Priyanto menilai target bauran energi terbarukan yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 25% pada 2025 sulit dicapai.
“Target 25% itu agak berat direalisasikan tanpa dorongan pemerintah. Kita lihat ada daerah yang berpotensi besar jadi sumber energi terbarukan, tapi tidak ada demand di sana,” ucapnya.
Adi mencontohkan Flores memiliki potensi 2.000 MW geothermal, tapi potensi tersebut belum direalisasikan karena tidak ada beban di sana.
“Saat ini, perkembangan energi terbarukan untuk listrik masih memperhatikan keseimbangan supply-demand. Jika tidak ada beban atau demand, masih sulit berkembang,” ujarnya.