Bisnis.com, DENPASAR—Presiden Joko Widodo pada Maret 2017 mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Inpres tersebut diyakini akan memperkuat upaya pengawasan obat dan makanan yang dikoordinatori oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Kepala BPOM Penny K. Lukito menyampaikan dalam Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan langsung fungsi pengawasan obat dan makanan pada 12 kementerian dan lembaga (K/L), pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah.
"Dengan Inpres ini, fungsi kami sebagai koordinator lebih jelas. Ke depan, langkah yang kami lakukan adalah membentuk satgas di masing-masing provinsi agar pengawasan obat dan makanan dapat lebih efektif," kata Penny saat membuka focus grup discussion (FGD) Penguatan BPOM di Legian, Denpasar, Kamis (4/5).
Penny menjelaskan sistem otonomi daerah yang sudah berlangsung lama membuat BPOM kesulitan untuk dapat mencapai pihak-pihak yang melanggar aturan yang berada di daerah. Untuk itu, dibutuhkan satu payung hukum yang dapat merangkul seluruh pihak guna menjaga keamanan obat dan makanan.
Data BPOM menunjukkan nilai temuan obat dan makanan ilegal pada 2015 mencapai Rp222,52 miliar dengan produk yang dimusnahkan mencapai 1,071 juta kemasan. Selama Januari--September 2016, nilai ekonomi obat dan makanan ilegal temuan BPOM mencapai Rp169,74 miliar.
Kendati demikian, selama ini wewenang BPOM tidak dapat menjangkau ke daerah-daerah. Meski BPOM dapat memberikan rekomendasi hasil pengawasan, penertiban dan penindakan tetap merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya 25% produk obat dan makanan beredar yang terpantau oleh BPOM.
Sekretaris Utama BPOM Reri Indriani menyampaikan BPOM memang tidak dapat memonitor seluruh obat dan makanan beredar karena seluruh perizinan usaha berada di pemerintah daerah. Untuk itu, BPOM akan memperluas kerangka sampling sehingga dapat mencakup lebih banyak produk.
"Karena pengurangan dan penambahan izin usaha, daerah tidak melaporkan pada BPOM. Karena keterbatasan sumber daya, kami fokus pada yang berisiko," jelas Reri.