Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan kubah plastik Solar Dryer Dome di tahapan pasca-panen bisa meningkatkan produksi petani hingga 45%.
Head of Inclusive Business Asean, Covestro, Setafan Koch menjelaskan Solar Dryer Dome bisa menggantikan metode pengeringan tradisional yang biasanya dilakukan di pinggir jalan atau tengah lapangan.
Solar Dryer Dome adalah fasilitas pengering produk hortikultura yang dibangun menggunakan lembar polikarbonat yang dilapisi material penyaring sinar ultraviolet.
Pengeringan dalam ruang membuat proses pengeringan bebas kontaminasi debu, air hujan, dan cahaya ultraviolet yang menyebabkan 30%—50% hasil perkebunan kehilangan nilai ekonomis. Peralihan ke Solar Dryer Domes bisa meningkatkan produksi perkebunan yang terjual hingga 45%.
Suhu di dalam Solar Dryer Dome bisa ditingkatkan hingga 200% lebih tinggi dari suhu di luar ruangan tanpa pasokan listrik eksternal. Proses pengeringan di fasilitas tersebut hanya menghabiskan 3–4 hari dibandingkan proses tradisional yang bisa membutuhkan 7 hari.
Koch menjelaskan keunggulan tersebut meningkatkan nilai jual produk hasil perkebunan karena lebih higienis, mengandung nutrisi lebih tinggi, lebih tahan lama, dan tidak menyebabkan warna produk pudar.
Solar Dryer Dome adalah teknologi hasil inovasi Serm Janjai dari Universitas Silpakorn di Thailand. Covestro, perusahaan produsen plastik asal Jerman, berkolaborasi dengan PT Impack Pratama Industri Tbk menyebarluaskan teknologi tersebut di Indonesia.
Direktur Utama, Impack Pratama, Haryanto Tjiptohardjo mengatakan kolaborasi produksi, pemasaran, dan distribusi produk Solar Dryer Dome merupakan langkah awal Impack Pratama mengembangkan pola bisnis inklusif.
Dia menjelaskan bisnis inklusif adalah model bisnis yang bertujuan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Namun, tegasnya, bisnis inklusif tidak sama dengan tanggung jawab sosial perusahaan karena dikelola secara berkelanjutan dan tetap menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
“Sebagai perusahaan nasional, Impact Pratama ingin memberikan kontribusi bagi masyarakat yang kurang terlayani di Indonesia, khususnya petani kecil dan nelayan,” kata Haryanto, Jumat (31/3/2017).