Bisnis.com, JAKARTA– Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajak Kementerian Pertanian untuk mengevaluasi rendahnya realisasi pembangunan kebun plasma oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengingatkan bahwa setiap perusahaan wajib mengalokasikan 20% luas konsesi perkebunan yang dilepas dari kawasan hutan untuk masyarakat. Kewajiban ini ditekankan pula ketika perusahaan mengajukan sertifikat hak guna usaha.
“Antara surat keputusan pelepasan kawasan hutan dan HGU sudah dilihatkah kewajiban mereka untuk alokasi 20% lahan?” katanya di Jakarta, Senin (20/3/2017).
Bambang meyakini tidak semua areal perkebunan digarap perusahaan karena pasti ada konflik dengan masyarakat. Justru karena itulah dia meminta kepada pemegang konsesi untuk menjadikan skema kebun plasma sebagai solusi untuk mengatasi konflik tersebut.
Ketika dimintai tanggapan, Staf Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Agus Sartono mengklaim kementeriannya selalu mengevaluasi pembangunan kebun plasma. Namun, dia belum dapat merinci jumlah perusahaan yang sudah menjalankan kewajiban tersebut.
Pola kemitraan plasma merupakan amanat dari UU No. 18/2004 tentang Perkebunan. Pada 2007, perusahaan perkebunan inti diwajibkan membangun plasma dengan menyisihkan 20% luas areal kerja. Sejak berlakunya Permentan No. 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, plasma masyarakat dapat dibangun dari lahan di luar konsesi yang luasnya setara dengan 20% perkebunan inti.
Namun, kalangan parlemen melihat realisasi plasma masih sangat rendah. Untuk itu, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat akan memanggil pemerintah dan kalangan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk mengonfirmasi hal tersebut.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengungkapkan instansinya sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) Alih Fungsi Lahan dan Plasma pada bulan lalu. Namun, Panja belum sempat bekerja menyusul masuknya masa reses.
“Panja akan bekerja masa sidang berikutnya. Kami mulai masuk pada 15 Maret,” katanya kepada Bisnis.com, pekan lalu.
Daniel menuturkan Panja tersebut dibentuk karena parlemen menemukan fakta ketidakberesan dalam alokasi kebun plasma. Padahal, berdasarkan UU dan peraturan turunannya, setiap perusahaan diwajibkan membangun plasma seluas 20% areal kerjanya.
Panja, tambah Daniel, sudah menyiapkan surat pemanggilan kepada pihak pemerintah dan dunia bisnis. Otoritas terkait perkebunan kelapa sawit adalah KLHK, Kementan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
“Dari pelaku usaha, ada sejumlah perusahaan (yang dipanggil) mewakili Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau,” ujarnya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini memastikan Panja akan mendengarkan alasan pemerintah dan pelaku usaha. Meski demikian, dia mengakui politisi Senayan sebenarnya sudah menyiapkan satu opsi berupa rekomendasi pencabutan izin bagi perusahaan yang kedapatan tidak mengalokasikan plasma sebagaimana diwajibkan dalam UU.