Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Organda Pertanyakan Pernyataan Perusahaan Aplikasi

Organda mempertanyakan pernyataan perusahaanperusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi terkait dengan revisi peraturan menteri perhubungan No. 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Umum Orang Tidak Dalam Trayek.
Ilustrasi taksi online/Reuters-Kai Pfaffenbach
Ilustrasi taksi online/Reuters-Kai Pfaffenbach

Bisnis.com, JAKARTA—Organda mempertanyakan pernyataan perusahaan–perusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi terkait dengan revisi peraturan menteri perhubungan No. 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Umum Orang Tidak Dalam Trayek.

Dalam pernyataannya, perusahaan–perusahaan tersebut menolak penetapan kuota jumlah kendaraan, penetapan tarif batas atas dan bawah, serta menolak kewajiban STNK mitra perusahaan harus berbadan hukum.

Ketua DPP Organda Adrianto Djokosoetono menyatakan pasal-pasal revisi yang ada dalam peraturan menteri perhubungan tersebut merupakan masukan dari para mitra perusahaan teknologi yang sudah menyatakan tarif terlalu murah dan armada yang ada terlalu banyak.

“Perusahaan teknologi tapi membuat pernyataan soal PM 32 [2016] ya?” kata Adrianto, Jakarta, Senin (20/3).

Dia mengungkapkan, para mitra perusahaan teknologi penyedia aplikasi yang telah berinvestasi sarana perlu mendapatkan perhatian. Mereka, dia menjelaskan, memiliki risiko usaha sebagai pengusaha angkutan umum sewa berbasis aplikasi.

Tidak hanya itu, dia menyatakan, selama ini ini juga para pengusaha angkutan umum kecil di daerah-daerah merupakan pihak yang paling terkena dampak dari penerapan tarif murah angkutan – angkutan umum berbasis aplikasi.

“Jumlah yang tidak terkontrol [pengusaha angkutan umum kecil],” katanya.

Oleh karena itu, dia menilai, pemerintah tidak perlu mengubah revisi yang akan diterbitkan dalam waktu dekat tersebut mengingat revisi peraturan tersebut sudah mengakomodasi banyak usulan dari berbagai pihak.

“Jika ada perubahan lagi, atas dasar apa?” tanya Adrianto.

Dia kembali mengingatkan, mitra perusahaan teknologi pembuat aplikasi pemesanan angkutan umum sewa sudah setuju dengan poin-poin yang direvisi dalam peraturan menteri perhubungan tersebut.

Perusahaan-perusahaan teknologi pembuat aplikasi tersebut, dia menyatakan sebenarnya menurut banyak pihak merupakan perusahaan angkutan umum karena secara hukum produk jasa yang dikeluarkan terkait transportasi.

Hanya saja, paparnya, para perusahaan tersebut memilih menjadi perusahaan teknologi yang menyediakan jasa transportasi ketika diberikan pilihan oleh pemerintah untuk menjadi perusahaan angkutan umum atau perusahaan teknologi.

“Di luar negeri mereka disebut sebagai Transportation Network Company,” katanya.

Selama ini, dia menambahkan, perusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi angkutan umum sewa telah melanggar peraturan. Oleh karena itu, dia menilai wajar jika mereka merasa terganggu ketika pemerintah ingin melakukan penertiban.

Dia mengungkapkan, perusahaan teknologi tersebut perlu mengikuti aturan jika tidak ingin terganggu dengan aturan yang ada. Mereka, paparnya bisa tetap menjadi perusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi.

Hanya saja, kendaraan-kendaraan yang bergabung harus sesuai dengan peraturan yang ada. Dia mengingatkan, PM 32/2016 sudah berlaku.

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengklaim, pihaknya mewakili suara mitra pengemudi, penumpang, dan masyarakat Indonesia terkait pernyataan yang dibuat mengenai poin-poin revisi PM32/2016.

Dia menilai, suara yang dikumpulkan untuk melakukan revisi PM 32/2016 masih sangat terbatas. Tidak hanya itu, dia mengungkapkan, uji publik yang dilakukan pun hanya dua kali dan undangan yang dilakukan untuk itu terbatas.

“Kami mengundang untuk diadakan survei terbuka kepada masyarakat,” katanya.

Ketika ditanya mengenai pengaruh revisi peraturan tersebut terhadap perkembangan Grab, dia mengungkapkan, saat ini yang menjadi inti permasalahan adalah kerugian dari sisi pelanggan dan mitra pengemudi.

Pembatasan tarif, dia menilai, akan menyebabkan akses masyarakat terhadap layanan transportasi publik yang murah dan terjangkau menjadi tidak mungkin. Kemudian, terkait kuota, kebutuhan masyarakat akan layanan yang nyaman dan terjangkau terus tumbuh.

Oleh karena itu, pembatasan tersebut berpotensi membuat akses masyarakat terbatasi. “lebih lagi, kuota akan terlambat menyesuaikan pertumbuhan kebutuhan. Selain itu, metode penentuan kuota tidak ada yang valid,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yudi Supriyanto
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper