Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat kepatuhan korporasi swasta nonbank untuk meminta peringkat utang luar negeri masih rendah. Padahal, kewajiban permintaan credit rating menjadi salah satu instrumen untuk memitigasi risiko risiko utang berlebihan atau overleverage.
Dody Budi Waluyo, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) mengatakan penyampaian peringkat utang baru 27% dari sekitar 538 korporasi yang wajib menyampaikan peringkat utang terkait ketentuan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK).
“Jadi masih banyak dari korporasi swasta nonbank yang meminjam ULN belum patuh untuk meminta credit rating kepada lembaga pemeringkat,” katanya, Selasa (7/3/2017)
Sesuai dengan Peraturan BI No. 16/21/PBI/2014 tentang PPK Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank, credit rating minimum harus setara BB- dan dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh BI. Kewajiban rating tersebut mulai diterapkan sejak Januari 2016.
Adapun, masa berlaku peringkat atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) paling lama dua tahun setelah perangkat itu diterbitkan atau ditetapkan. Kewajiban pemenuhan peringkat ini dilakukan saat pinjaman ditandatangani.
Batas minimum peringkat tersebut sebenarnya moderat sehingga tidak bertujuan menggagalkan korporasi mendapatkan utang. Peringkat di bawah BB- menunjukkan adanya risiko terjadinya gagal bayar.
Dari jumlah korporasi yang melaporkan peringkat utang tersebut, persentase pemenuhan minimum BB- mengalami peningkatan. Dari total 27% korporasi yang melaporkan peringkat utang pada kuartal IV/2016, sebanyak 94,7% sudah memenuhi peringkat minimum. (lihat tabel)
Dody mengungkapkan rendahnya kepatuhan korporasi dalam meminta peringkat utang hanya dipengaruhi masalah sosialisasi yang masih kurang. Mayoritas korporasi menganggap ketentuan ini bukan mandatory. Pihaknya optimistis tahun ini akan ada peningkatan pelaporan.
Pihaknya kembali mengingatkan utang luar negeri pada dasarnya sebagai pelengkap pendanaan dari domestik. Dengan demikian, pergerakan dari utang luar negeri harus tetap harus dikelola dan dimitigasi risikonya.
Sesuai Peraturan BI No. 16/21/PBI/2014, peringkat utang menjadi salah satu dari tiga prinsip KPPK. Dua prinsip lainnya yakni rasio lindung nilai dan rasio likuditas. Saat ini, rasio lindung nilai minimum 25% dari selisih negarif antara aset valuta asing (valas) dan kewajiban valas. Sementara, rasio likuditas minimum sebesar 70%.
Berbeda dengan tingkat kepatuhan korporasi terkait peringkat utang yang masih rendah, tingkat kepatuhan korporasi memenuhi rasio lindung nilai pada kuartal III/2016 mencapai 89% (jatuh tempo 0-3 bulan) dan 94% (jatuh tempo 3-6 bulan). Di sisi lain, tingkat kepatuhan dalam pemenuhan rasio likuditas mencapai 86%.Kepatuhan kedua indikator ini diukur dari 2.700 korporasi.
Riza Tyas, Deputi Direktur Kebijakan Ekonomi Moneter BI mengatakan memang ketentuan terkait permintaan credit rating pada dasarnya wajar dalam mekanisme pasar internasional. Permintaan peringkat ini tidak berlaku untuk utang dagang atau ekspor-impor dalam jangka pendek.
“Dengan credit rating ini akan membuat kreditur lebih nyaman dan menghilangkan asimetrik informasi antara kreditur dan debitur,” ujarnya.
Dari total 27% korporasi yang sudah melaporkan peringkat utang, sambung Riza, mayoritas berasal dari perusahaan go public. Hal ini dikarenakan perusahaan yang sudah masuk bursa memiliki ketentuan terkait rating korporasi.
Terhadap korporasi yang tidak memiliki peringkat utang, BI akan melakukan peneguran. Jika sebanyak tiga kali teguran tidak ada respons, Otoritas Moneter akan langsung menghubungi kreditur. Dengan demikian, akan ada pengaruh terhadap pemberian kredit.