Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah mencari terobosan regulasi yang memungkinkan ekosistem gambut fungsi lindung dalam konsesi hutan tanaman industri dapat menjadi obyek bisnis berbasis perdagangan karbon.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Ida Bagus Putera Parthama menegaskan pemerintah tidak akan mengeluarkan gambut fungsi lindung dari areal kerja perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Malahan, pemegang konsesi diwajibkan untuk menjaga dan memulihkan gambut agar sesuai dengan fungsinya.
“Areal yang tadinya memang sudah menjadi beban, dengan adanya kewajiban unit manajemen untuk menjaganya, jadi penuh beban lagi memang,” katanya dalam acara Diskusi Implementasi Pencegahan Perubahan Iklim Usaha Sektor Kehutanan di Jakarta, Rabu (1/3/2017).
KLHK, tambah Putera, ingin membalikkan anggapan tersebut. Zona lindung, misalnya, dapat menjadi obyek bisnis sampingan bagi pemegang konsesi. Apalagi, ekosistem gambut, termasuk yang berfungsi lindung, memang boleh untuk dimanfaatkan.
Semenjak 2012, misalnya, pemerintah merilis izin restorasi ekosistem yang model bisnisnya berbasis perdagangan karbon. Namun, menurut Putera, regulasi belum memungkinkan dua jenis izin diberikan dalam satu areal kerja yang sama.
“Bagaimana gambut yang menjadi fungsi lindung di HTI itu dijadikan sub-area yang arahnya semacam restorasi ekosistem. Kami akan garap supaya ini bisa legal,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto berpendapat regulasi saat ini sudah memungkinkan adanya variasi bisnis dalam satu konsesi. “Bukan lewat izin tambahan, tetapi pemanfaatannya itu kira-kira silvikultur multisistem,” katanya di acara yang sama.
Purwadi menyebutkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan peraturan pemerintah turunannya membolehkan pemanfaatan bisnis jasa lingkungan, jasa wisata, dan perdagangan karbon. Sayangnya, dia menilai mekanisme Nationally Determined Contribution (NDC) menutup peluang bagi pelaku usaha restorasi ekosistem untuk mendapat fasilitas transaksi karbon yang bersifat sukarela.
Sementara itu, Fungsionaris APHI Priatna mendambakan mekanisme perdagangan karbon ini bisa segera terlaksana. Saat ini, pelaku usaha restorasi ekosistem hanya mengandalkan bantuan pendanaan dari luar negeri.