Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Bedugul, Bali diharapkan berlanjut pada Maret 2017 setelah statusnya memiliki kekuatan hukum atau incracht.
Adapun, PLTP Bedugul yang dikelola melalui kontrak operasi bersama atau joint operation contract (JOC) bersama PT Pertamina Geothermal Energy menghadapi permasalahan internal pada mitra yakni PT Bali Energy Limited. Masalah sengketa kepemilikan saham akhirnya menghambat pengembangan PLTP yang telah dilakukan pengeboran eksplorasi sebanyak tiga sumur.
Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yunus Saefulhak, mengatakan masalah internal di Bali Energy Limited sudah selesai sejak akhir Desember 2016. Adapun, dia berharap agar pada Maret 2017 masalah tersebut selesai dan berkekuatan hukum atau incracht. Barulah setelah itu, tutur Yunus, pihak pengembang mempresentasikan rencana pengembangan Bedugul lengkap dengan kemampuan finansial dan jadwal proyek.
"Mudah-mudahan Maret sudah incracht. Kalau sudah incracht, kita panggil, mereka presentasi," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (10/1/2017).
Melalui tiga sumur yang telah dibor, dia menyebut pada Maret diharapkan potensi listrik yang dihasilkan sebesar 10 mega watt (MW) bisa dikembangkan.
"Kalau itu selesai maka segera dikembangkan minimal 10 MW dulu."
Pasalnya, selain menanti ketetapan hukum, Yunus menuturkan penolakan warga tak lagi menjadi masalah utama. Warga sekitar, katanya, terus disosialisasikan terkait manfaat pengembangan tenaga panas bumi untuk sektor ketenagalistrikan di Bali.
Seperti diketahui, pengembangan PLTP Bedugul mendapat penolakan warga kendati izin pengeboran eksplorasi sudah dimiliki pada 2007. Warga menolak pengembangan tenaga panas bumi di Bedugul karena lokasi dianggap tanah sakral yang tak memungkinkan adanya pembangunan infrastruktur.
"Sebetulnya penolakan masyarakat sdh tidak menjadi isu lagi walaupun sedikit masih ada dan pemerintah terus menerus melakukan sosialisasi," kata Yunus.