Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku heran dengan prospek lambat masuknya investasi ke sektor energi, khususnya tenaga panas bumi atau geothermal di Indonesia.
Hal ini disampaikannya saat meresmikan Pembukaan Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-10 Tahun 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (18/9/2024).
“Seingat saya sudah pergi ke tiga lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi. Yang saya heran saat itu peluangnya besar, artinya banyak investor yang mencari energi hijau, energi baru terbarukan (EBT), dan potensinya ada 24.000 megawatt. Sudah kita kerjakan, tetapi kok tidak berjalan secara cepat?” kata Jokowi dalam forum tersebut.
Jokowi mengatakan bahwa kendala yang paling menonjol dan menghambat masuknya investasi ke sektor energi di Tanah Air karena sulitnya masalah perizinan.
Dia pun mengeluhkan bahwa dari potensi tenaga panas bumi hingga 24.000 megawatt saat ini baru 11 persen yang bisa segera dikerjakan oleh para investor, padahal Indonesia, kata Jokowi, memiliki tambahan listrik hijau yang lebih banyak.
“Dan ketahuan, ternyata untuk memulai konstruksi dari awal sampai konstruksi urusan perizinan bisa sampai 5—6 tahun. Ini yang mestinya paling cepat harus dibenahi terlebih dahulu,” ujarnya.
Baca Juga
Jokowi pun mengamini bahwa apabila investor harus menunggu perizinan yang molor hingga waktu untuk memulai konstruksi sampai 5—6 tahun, maka akan menurunkan minat pihak yang akan menyuntikkan dana.
Dia pun menyayangkan mengingat Indonesia sebagai pemilik potensi besar geotermal yang diperkirakan mencapai 40 persen dari potensi dunia sehingga memiliki banyak peluang untuk dikembangkan, tetapi saat ini baru 11 persen yang termanfaatkan dari potensi yang ada.
“Kalau investornya tidak sabar tidak mungkin mau mengerjakan, nunggu sampai 6 tahun. Kalau saya, ndak kuat saya, meskipun banyak yang menyampaikan saya sabar, tetapi untuk nunggu 6 tahun ndak kuat,” pungkas Jokowi.
Sebelumnya, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai lambannya investasi pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) disebabkan karena persoalan tarif.