Bisnis.com, BANDUNG - Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengingatkan pemerintah agar segera memperbaiki kebijakan di sektor peternakan agar lepas dari ketergantungan impor.
Sekjen PPSKI Rochadi Tawaf menyatakan pada tahun ini pemerintah tidak boleh lagi terlena dengan kebijakan impornya yang justru hanya akan mematikan peternak rakyat dan membuat negeri ini ketergantungan pangan dari negara lain.
"Selama ini peternak rakyat seperti dimarginalisasi. Semuanya kebutuhan pangan nasional hanya mampu dipenuhi oleh korporasi yang mengandalkan impor. Kalau ini terus dibiarkan sudahlah bubar negeri ini," katanya kepada Bisnis, Kamis (5/1/2017).
Dia menyebutkan sejumlah kebijakan yang perlu dievaluasi lintas kementerian yakni Perdagangan dan Pertanian antara lain menyangkut impor sapi indukan yang mengharuskan pula pengusaha penggemukan (feedloter) yang mengimpor sapi bakalan harus juga mengimpor sapi indukan untuk pembibitan.
Lewat regulasi baru tersebut, lanjutnya, kewajiban pembibitan sapi diserahkan kepada swasta dan koperasi. Akan tetapi, kondisi koperasinya dinilai belum siap diberi mandat penting tersebut.
"Feedlot bukan kapasitas impor tapi kapasitas kandang. Kapasitas kandang masih bisa digunakan untuk importir sebagai tahapan awal. Karena pembibitan dan penggemukan dua hal berbeda," ujarnya.
Selain itu, kebijakan sapi indukan bunting juga tidak akan bisa dinikmati tahun ini. Menurutnya, kalaupun program tersebut berhasil baru bisa dinikmati tiga tahun mendatang.
Dia menjelaskan biaya yang dibutuhkan pun terlalu besar di mana untuk membuntingi 3 juta ekor sapi betina menghabiskan biaya Rp1,2 triliun. "Artinya dibutuhkan biaya Rp4 juta untuk membuntingi seekor sapi. Apakah itu bisa dilaksanakan? belum lagi biaya lain sebagainya," ujarnya.
Pihaknya juga menyoroti juga kebijakan impor daging dari India yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku. Saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur impor zonasi dari negara tersebut.
Kebijakan lainnya adalah impor sapi dari Brasil juga tidak bisa dilaksanakan berkepanjangan tanpa insentif. Disamping itu, impor sapi asal Meksiko hanya kawasan tertentu yang populasinya bisa lebih dari 3 juta ekor.
"Jadi, tidak mungkin dua negara itu akan mengirimkan sapinya dalam jumlah besar ke Indonesia seperti yang dilakukan Australia. Sekarang ketersediaan betina di Australia pun sangat rendah mungkin hanya sekitar 20.000 setahun," ungkapnya.
Dengan kata lain, Australia hanya mampu memenuhi impor sebanyak 100.000 ekor. Padahal, Indonesia membutuhkan 600.000--700.000 ekor pada 2017.
"Dampaknya, dikhawatirkan terjadi impor besar-besaran daging India yang bisa menurunkan harga. Tetapinya, peternak rakyat tidak akan bisa kejar harga Rp80.000/kg. Kalau begitu, kita bisa terperangkap masalah pangan, karena orang tidak lagi bergairah beternak," tegasnya.
Pihaknya mengkhawatirkan sapi akan seperti kasus ayam broiler yang peternak rakyatnya hanya 10% dan ayam kampung sulit ditemukan.