Bisnis.com, JAKARTA – Transparency International Indonesia (TII) menyatakan bisnis berbasis lahan di Tanah Air masih berbiaya tinggi karena kental dengan pungutan liar di lapangan yang membebani roda usaha.
Manajer Departemen Industri Berbasis Lahan TII Rivan Prahasya mencontohkan setoran satu perusahaan kehutanan memakan 5,5% dari biaya produksi per tahun. Sementara di sektor perkebunan dan pertambangan setoran bisa lebih tinggi yakni mencapai 6%-7% dari biaya operasi.
“Proses suap-menyuap masih terjadi. Mereka menyebutnya uang pelicin atau donasi politik,” katanya dalam acara diskusi Outlook Peluang dan Tantangan Tata Kelola Hutan Indonesia di Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Rivan mengatakan kondisi itu merupakan cerminan buruknya tata kelola usaha berbasis lahan di Indonesia. Praktik koruptif mencakup dari perizinan sampai ke suplai bahan baku.
Sayangnya, lanjut Rivan, keadaan ini masih belum ada tanda-tanda perbaikan. Untuk itu, dia berharap Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yang dibentuk Presiden Joko Widodo dapat turun tangan.
“Kepolisian bisa menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini agar ada arah jelas dalam perbaikan tata kelola,” ujarnya.
KPK, kata Rivan, memiliki pengalaman dalam memberantas korupsi sektor berbasis lahan seperti dalam kasus mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang ditangkap pada September 2014. Menurutnya, kasus serupa masih berpotensi terjadi seiring dengan kebutuhan lahan yang terus meningkat.