Bisnis.com, JOMBANG – Pemerintah menargetkan pengurangan impor bahan baku obat (BBO) hingga 40% dalam waktu 5 tahun sejalan dengan upaya dibangunnya sejumlah pabrik bahan baku obat dalam negeri.
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang mengatakan saat ini secara value pasar farmasi dalam negeri mencapai Rp66 triliun.
Namun dalam roadmap 2025, pemerintah menargetkan pasar farmasi bisa mencapai Rp700 triliun, di mana sekitar Rp450 triliun untuk pasar nasional dan sisanya menyasar pasar ekspor.
“Paling penting sekarang bagaimana kelayakan di bidang ekonomi, teknologi dan kebutuhan harus dipertimbangkan. Kalau semua bahan baku bisa diproduksi di sini maka ketersediaanya itu pun harus terjamin karena ada kebutuhan tidak boleh sampai kekosongan apalagi kalau pasar global terjadi kelangkaan,” jelasnya seusai Peresmian Pabrik Garam Farmasi Tahap I Kimia Farma, Kamis (8/12/2016).
Dia mengatakan saat ini bahan baku obat yang sudah diproduksi dalam negeri adalah garam farmasi oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Kimia Farma telah memulai pembangunan pabrik garam farmasi sejak 2014 dan kini mampu memproduksi 2.000 ton/tahun.
Selama ini, kebutuhan garam farmasi dalam negeri mencapai 3.000 ton/tahun dan berkembang menjadi 6.000 ton/tahun. Kebutuhan tersebut telah dipenuhi oleh garam farmasi impor.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Prayitno menambahkan garam farmasi memang menjadi salah satu BBO yang lebih dulu diteliti hingga mampu diproduksi sendiri.
Ke depan, BPPT sedang menyiapkan bahan baku untuk pencampur pil dan kapsul yang terbuat dari singkong. Selama ini, bahan baku pil dan kapsul yang berbahan dasar jagung yang ada merupakan impor dari Australia yang mencapai 10.000 ton/tahun.
“BBO dari singkong ini masih menyusun studi kelayakan. Penelitian dari singkong sudah kami teliti dan siap untuk didistribusikan. Kalau FS, dan teknologinya sudah siap, nanti perusahaan farmasi mana saja yang siap dan tercepat, ya tinggal bangun pabriknya,” jelasnya.
Direktur Utama Kimia Farma, Rusdi Rosman mengatakan pihaknya berencana membangun lagi pabrik garam farmasi tahap 2 yang kapasitasnya mencapai 4.000 ton/tahun. Diharapkan dengan menambah pabrik baru tersebut, sehingga total kapasitas menjadi 6.000 ton/tahun ini bisa memenuhi 100% kebutuhan garam farmasi.
“Kami sudah membeli lahan untuk pabrik garam farmasi tahap 2 seluas 1 ha, tetapi nanti yang akan dibangun mungkin setengahnya, dan dalam waktu dekat kami akan ground breaking,” imbuhnya.
Adapun garam farmasi yang diolah oleh Kimia Farma merupakan hasil dari petani garam melalui PT Garam dengan harga kontrak Rp1.000/kg lebih tinggi dari harga dipasaran. Sedangkan garam farmasi yang sudah diolah dijual dengan harga sekitar Rp13.500/kg atau lebih murah dibandingkan garam farmasi impor yang mencapai Rp20.000/kg.
Untuk pabrik garam farmasi tahap 1 ini sudah mulai dipasarkan perdana sebanyak 2,5 ton ke 5 perusahaan farmasi, di antaranya PT Indofarma (Persero) Tbk, PT Djojonegoro C-1000, PT MJB Pharma, PT Gracia Pharmindo, dan Labiomed Ditkesad.