Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jangan Biarkan Gambutmu Tersia-Sia

Deretan ruang berukuran 3x6 meter terjejer rapi. Di salah satunya, ada ruang tempat salah satu perusahaan asal Finlandia memamerkan produk-produk pengeruk tanah. Rupanya, di negara itu tanah gambut dijadikan bahan baku industri sampo dan sabun.
Tata air di lahan gambut./cwacwa
Tata air di lahan gambut./cwacwa

Bisnis.com, JAKARTA - Deretan ruang berukuran 3x6 meter terjejer rapi. Di salah satunya, ada ruang tempat salah satu perusahaan asal Finlandia memamerkan produk-produk pengeruk tanah. Rupanya, di negara itu tanah gambut dijadikan bahan baku industri sampo dan sabun.

Di acara yang sama yaitu International Peat Congress, Tiongkok juga mendeklarasikan rencana pembangunan industri berbasis gambut. Chairman China Humic Acid Industry Association, Xiancheng Zeng menyebut potensi pendapatan negara dari industri itu mencapai 230 miliar yuan atau setara Rp447,9 triliun.

Lalu bagaimana di Indonesia? Pemerintah mencatat luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14 juta hektare yang 20%-nya telah digunakan untuk lahan pertanian. dari 20% tersebut, 1,6 juta ha di antaranya telah puluhan tahun lalu ditanami komoditas sawit.

Bak benda haram, pemerintah kini melarang keras pembukaan lahan komoditas apa pun di atas lahan gambut. Negara trauma dengan kebakaran yang mudah terpecik di lahan gambut, sekaligus menyebut gambut harus dilindungi untuk menyimpan karbon (C).

Kendati demikian, kalangan pengamat dan pelaku usaha melihat peluang besar dari pemanfaatan gambut. Gambut dinilai dapat dilestarikan, sekaligus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ekonom pertanian Institute for Development of Economic and Finance, Bustanul Arifin menyebut perdebatan soal pemanfaatan gambut disebabkan para pemangku kepentingan yang tidak memiliki definisi sama soal pemanfaatan dan pelestarian gambut.

Dia menjelaskan kerusakan gambut yang terjadi pada saat ini sesungguhnya merupakan buah dari manajemen yang kurang mapan bertahun-tahun lalu. Praktis, pemerintah tidak ingin kesalahan tersebut terulang sehingga membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Kalau saya usulkan untuk melakukan klasifikasi dan zonasi, mana yang jangan dimanfaatkan, mana yang untuk konservasi, dan yang untuk masyarakat dan perusahaan. Kalau kepemilikannya jelas, kan bisa diawasi. Kalau tidak jelas, justru proses membakar di mulai dari situ,” kata Bustanul.

Penanaman kelapa sawit di lahan gambut bukan hal baru di Indonesia. PT Socfin Indonesia di Sumatera Utara misalnya, sudah sejak 1920 menanam sawit di 300 ha lahan gambut mereka dengan produktivitas menyentuh 24 ton CPO per ha per tahun. Sampai saat ini, kondisi gambut masih lestari.

Adapula kebun milik PTP IV di Sumut yang juga telah tiga siklus menanam sawit di lahan gambut. Produktivitasnya mencapai 29,5 ton CPO per ha. Kedua perusahaan ini menerapkan strategi sama yaitu memasifkan manajemen air melalui pembangunan kanal-kanal di sekeliling kebun untuk menjaga kadar air di lahan gambut.

Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara (USU) Abdul Rauf menjelaskan gambut yang dimanfaatkan untuk lahan sawit memang harus diperlakukan dengan sistem budidaya yang baik. Dia mencatat beberapa kebun sawit justru sudah 100 tahun ditanam di lahan gambut tanpa merusak struktur tanah tersebut.

“Lahan gambut dapat dimanfaatkan seperti dengan menerapkan sistem water management. Jadi di kalan-kanal tersebut nanti akan diatur tinggi permukaan air sehingga lahan gambutnya tetap terjaga [kandungan airnya] dan tidak mudah terbakar,” ungkap Abdul Rauf.

Sebagai catatan, Kementerian Pertanian menyebut ekspor minyak sawit mentah (CPO) berkontribusi hingga Rp250 triliun pada devisa negara. Sektor ini juga berhubungan langsung dengan 16 juta petani. Dengan target produksi CPO pada 2025 sebesar 40 juta ton, moratorium perluasan sawit diprediksi menghilangkan potensi investasi hingg Rp14 triliun.

Di sisi lain, BRG sebagai lembaga adhoc untuk merestorasi gambut pun kerap dinilai kurang ‘panjang tangan’. Kondisi gambut yang berkelompok-kelompok akan menyulitkan BRG dan lembaga itu bukan seperti Bulog yang jaringannya ke daerah amat kuat.

Pemerintah sesungguhnya mempunya pilihan untuk menata dan melestarikan gambut dengan melibatkan pihak-pihak yang diyakini mampu sekaligus mendapat nilai investasinya, atau membiarkan gambut tidak terkelola yang justru di lapangan berisiko diambil alih pemanfaatannya oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dara Aziliya
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper