Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendukung dan mendorong tersedianya fasilitas buffer area untuk menampung peti kemas impor di Pelabuhan Priok yang sudah berstatus clearance atau mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB).
Wakil Ketua Umum GINSI Erwin Taufan mengatakan barang impor yang sudah SPPB tetapi tidak segera diambil atau dikeluarkan pemiliknya dari container yard terminal peti kemas lini satu pelabuhan Priok telah bertentangan dengan komitmen bersama untuk menekan dwelling time di Priok.
"Kami mendukung apa yang di sampaikan KPU Bea dan Cukai Priok agar segera disiapkan buffer area, karena memang yang setelah SPBB enggak diambil pemiliknya sangat menggangu area terminal. Selain itu mempersempit ruang peruntukan bongkar muat di lini satu pelabuhan," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (10/11/2016).
Kendati begitu, ujar Taufan, GINSI berharap fasilitas buffer area tersebut jangan sampai menambah mata rantai birokrasi pengurusan dokumen impor serta munculnya biaya tambahan logistik di pelabuhan Priok. "Pengawasan terhadap buffer area juga harus dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Bea Cukai Priok," tuturnya.
Dia menyatakan hal tersebut untuk menegaskan sikap importir di pelabuhan Priok menanggapi banyaknya peti kemas impor di TPK Koja Pelabuhan Priok yang sudah SPPB tetapi dibiarkan mengendap hingga lebih dari 4 hari bahkan ada yang melebihi 10 hari.
Deputi General Manajer Komersial TPK Koja Achmad Saichu mengemukakan manajemen TPK Koja sedang melakukan pengecekan satu persatu peti kemas yang ada di Terminal tersebut menyusul beredarnya data pengeluaran peti kemas impor di TPK Koja 2016 yang disampaikan oleh Fordeki.
"Ini sedang kami cek setiap kontainernya.Kita musti melihat murni data stack [tumpukan] Koja sampai dengan gate out Koja," ujarnya melalui pesan singkat kepada Bisnis, Kamis (10/11).
Ketua Forum Pengusaha Depo Kontainer Indonesia (Fordeki) Pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Hadi mengungkapkan setiap bulannya terdapat ribuan peti kemas impor yang sudah SPPB dibiarkan mengendap di TPK Koja rata-rata lebih dari 4 hari bahkan ada yang lebih dari 10 hari.
Dia menilai kondisi ini berpotensi memengaruhi dwelling time khususnya untuk komponen post clearance, sehingga berdampak pada sulitnya menurunkan dwelling di Priok menjadi kurang dari tiga hari dari saat ini rata-rata 3,4 hari.
Syamsul mengemukakan berdasarkan data pengeluaran peti kemas TPK Koja 2016 yang diperoleh Fordeki, rata-rata peti kemas impor dan sudah mengantongi SPPB yang menumpuk di TPK Koja lebih dari empat hari pada periode Januari 2016 sebanyak 1.337 boks.
Kemudian pada Februari 1.065 boks, Maret 1.476 boks, April 1.208 boks, Mei 1.331 boks, Juni 1.628 boks, Juli 1.062 boks, Agustus 1.507 boks, September 1.069 boks, dan pada Oktober (hingga 10 Oktober) 335 boks.
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok sudah mengusulkan tersedianya fasilitas tempat penimbunan pabean sebagai buffer area pendukung kelancaran logistik dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok.
Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Fajar Doni mengatakan fasilitas tersebut diharapkan bisa menampung peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan atau mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPBB) dari Bea dan Cukai setempat tetapi belum diambil pemiliknya.