Bisnis.com, MALANG - Realisasi pembangunan rumah bersubsidi atau rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Malang pada tahun ini lebih rendah bila dibandingkan tahun lalu antara lain karena faktor biaya perizinan yang mahal.
Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi) Jatim Komisariat Malang Makhrus Sholeh mengatakan tahun lalu realisasi pembangunan rumah MBR mencapai 2.000 unit, namun tahun ini hanya mentok di angka 1.500 unit.
“Problemnya banyak, terutama dari sisi perizinan yang kurang mendukung,” ujarnya di Malang, Senin (17/10/2016).
Biaya perizinan tidak berbeda antara rumah MBR dan komersial. Sama-sama biaya tinggi karena lebih banyak komponen biaya nonresminya.
Untuk penyediaan rumah bersubsidi, pengembang menjadi malas membangunnya karena margin yang mereka terima semakin kecil terdampak dengan pungutan-pungutan nonresmi dalam pengurusan izin.
Beban pengutan yang harus ditanggung pengembang dalam membangun rumah, bahkan rumah bersubsidi, mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, camat, hingga satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Jenis izin yang harus dikantongi dalam merealisasikan proyek perumahan, mulai dari izin lokasi, site plan, izin mendirikan bangunan, dan seritifkat tanah. Untuk mengurus site plan, maka harus dipenuhi terlebih dulu izin analisa mengenai dampak lingkungan dan lalu-lintas.
Site plan diperlukan untuk memecah sertifikat. Biaya pemecahan sertikat yang mestinya hanya Rp250.000/bidang, tetapi di lapangan bisa mencapai Rp1,75 juta-Rp2 juta/bidang. “Ini kan memberatkan.”
Problem lain, bantuan pemerintah berupa prasarana, sarana, utilitas sulit diperoleh. Di sisi lain, harga rumah MBR sudah ditentukan pemerintah, yakni Rp116,5 juta/unit.
Jika pengembang ingin mencari untung dengan peningkatan mutu, maka bisa dijerat pajak sehingga tidak lagi memperoleh fasilitas bebas pajak.
Karena itulah pengembang akhirnya lebih memilih menyedikan rumah nonsubsidi. “Pengembang masih bisa menjual rumah dengan harga Rp180 juta/unit dan banyak peminatnya,” ujarnya.
Juga menjadi problem, untuk memperoleh tanah dengan harga yang memenuhi syarat untuk rumah MBR di Malang tidak mudah. Apalagi di wilayah Kab. Malang, tidak bisa mengkonversi lahan persawahan menjadi lahan terbangun.
Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Koordiantor Wilayah Malang Umang Gianto membenarkan pernyataan tersebut. Intinya, sulit untuk memperoleh lahan dengan harga murah di Malang, terutama di Kota Malang dan Kota Batu.
Pengembang yang bisa membangun rumah MBR, mereka yang sudah membebaskan jauh hari, seperti dirinya lewat bendera PT Bulan Terang Utama. “Karena itulah saya masih bisa membangun 1.000 unit pada tahun ini,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, dengan berbagai kemudahan, mestinya menjadi insentif bagi pengembang perumahan MBR untuk merealisasikan proyeknya.