Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah yang ingin menerapkan sistem transaksi elektronik di seluruh ruas tol di Indonesia pada 2018 mendapat penolakan dari sereikat pekerja jalan tol. Kebijakan itu dinilai merugikan karena membuat sekitar 20.000 pekerja gardu tol terancam kehilangan pekerjaan.
Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menilai proses otomatisasi gardu tol seharusnya tidak menghilangkan pekerjanya. Apalagi, badan usaha jalan tol sejauh ini selum menawarkan solusi konkrit mengenai ketersediaan lapangan pekerjaan setelah target transaksi elektronik itu terpenuhi.
“Pengalihan teknologi silakan, tapi jangan merugikan. Berikan kami pelatihan teknologi, transfer teknologi. Ini kami hanya diberikan pilihan pahit antara PHK atau mengundurkan diri,” ujarnya saat konferensi pers, Selasa (27/9/2016).
Dia mengatakan seluruh pekerja jalan tol telah melakukakn konsolidasi dengan membentuk Aliansi Pekerja Jalan Tol Seluruh Indonesia (APJATSI). Para pekerja jalan tol yang tergabung dalam organisasi ini terdiri dari pekerja berbagai perusahaan jalan tol, baik itu BUMN seperti PT Jasa Marga (Persero) Tbk, anak perusahaan BUMN, maupun perusahaan swasta.
Lebih lanjut Mirah menyatakan telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan direksi PT Jasa Marga (Persero). Namun, sejauh ini belum ada dialog yang dilakukan untuk mencari solusi bersama atas permasalahan ini.
Menurutnya, proses otomatisasi gardu tol sudah mulai dilakukan pemerintah sejak 2012, tetapi baru mencapai 40%. Lalu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan proses transaksi tol secara elektronik dapat berjalan sepenuhnya pada 2018.
Menteri BUMN Rini Soemarno saat penandatanganan nota kesepahaman antara empat bank BUMN dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk bahkan sempat menyatakan pada akhir 2016, seluruh transaksi jalan tol nasional harus menggunakan kartu elektronik.
Idealnya, dia menilai proses otomatisasi dilakukan secara bertahap, dan diimbangi dengan pelatihan keterampilan teknis kepada para pekerja. Dengan demikian, pekerja yang telah dibekali keterampilan itu memiliki kapasitas yang memadai untuk dipindahkan ke bagian lain.
“Selama ini pekerja jalan tol hanya diberikan pelatihan tentang bagaimana melayani transaksi pengguna jalan tol secara cepat, ramah dan jujur. Tetapi kami tidak pernah sekalipun diberikan pelatihan teknologi,” ujarnya.
Pihaknya pun meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana otomatisasi ini, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi pekerja tol. Bila rencana ini terus dilanjutkan tanpa dialog dengan pekerja, dia mengatakan sosiasi tak segan untuk melakukan tindakan untuk menutup jalan tol.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin Muhammad Saidi mengatakan tetap mendukung rencana pemerintah menerapkan transaksi elektronik di seluruh gerbang tol pada 2018. Menurutnya, penerapan sistem tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan zaman yang tak mungkin dihindari.
“Kita meminta program itu untuk mengurai kemacetan di jalan tol, hampir semua bersepakat 2018 harus sudah, tidak bisa kita hindari. Untuk masalah itu pengelola masih bisa cari jalan lain jangan sampai masalah ini mengganggu pengguna jalan,” ujarnya.
Dia menilai, antrean di transaksi nontunai pada gerbang tol menjadi biang kemacetan di jalan tol. Padahal, pengelola jalan tol wajib menaati Standar Pelayanan Minimum, yang tertuang dalam Undang-undang No. 38/2004 tentang Jalan.
Seperti diketahui, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berencana untuk menerapkan sistem multiland free flow pada seluruh jalan tol di Indonesia selambat-lambatnya pada dua tahun mendatang.
Untuk, pemerintah terus mendorong Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk meningkatkan jumlah Gerbang Tol Otomatis (GTO). Selain mendukung gerakan masyarakat nontunai, transaksi elektronik di gerbang tol juga diklaim dapat mempersingkat waktu transaksi sehingga meminimalisir kemacetan.