Bisnis.com, Jakarta— Saat ini dinilai sebagai momentum tepat bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin. Relaksasi itu diyakini dapat mendorong perekonomian di tengah keterbatasan fiskal.
Bank Indonesia baru saja menerapkan suku bunga acuan baru bernama 7-day Reverse Repo Rate mulai Agustus 2016. Rapat Dewan Gubernur BI bulan lalu memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse RepoRate di level 5,25%.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. David Sumual mengatakan secara fundamental memunginkan adanya ruang pemotongan suku bunga acuan  mengingat inflasi terkendali dengan pencapaian 2,79% (year on year/yoy) pada Agustus 2016 dan inflasi tahun kalender (year to date) sebesar 1,74%.
Di sisi lain, dia meyakini penurunan suku bunga acuan bulan ini dapat menstimulus permintaan yang lemah, bahkan pertumbuhan kredit Agustus 2016 berada di kisaran 6% (yoy) atau terendah sejak krisis global pada 2009.Â
“Ini untuk menstimulasi permintaan dengan menurunkan suku bunga karena ruangnya ada, pemerintah juga harus ada dorongan untuk belanja,” katanya, di Jakarta, Rabu (21/9/2016).
Sementara itu, dari sisi fiskal yang diproyeksikan akan ada pelebaran defisit hingga 2,7% bisa memicu permintaan. Menurutnya, jika nanti kalau defisit terus ditingkatkan lagi karena kebijakan tax amnesty tidak mencapai target, maka diperlukan koordinasi antara BI dengan pemerintah menentukan besaran defisit yang akan ditambah.Â
Pemerintah setidaknya membutuhkan tambahan pendanaan Rp37 triliun untuk menutup defisit anggaran yang semula 2,5% menjadi 2,7%. Dia berharap koordinasi antara pemerintah dan bank sentral untuk mengantisipasi terjadinya crowding out yang mempengaruhi investasi.Â
“September ini sudah ketahuan perlu tambahan defisit lagi berapa, kalau perlu maka buat koordinasi supaya tidak terjadi seperti tahun lalu, likuiditas yang terganggu akan membuat bunga bank meningkat karena likuiditas mengetat,” jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede. Menurutnya, otoritas moneter perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan surat utang negara sebesar Rp37 triliun  berpotensi menyebabkan kondisi crowding out.
Menurutnya, supaya lebih optimal untuk menjaga momentum pertumbuhan khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan juga koordinasi kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
“Mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah,” ucapnya.