Bisnis.com, JAKARTA—Pengembangan abu terbang batu bara (fly ash) untuk material konstruksi yang ramah lingkungan terkendala oleh sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) yang belum dikeluarkan pemerintah.
Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia Davy Sukamta mengatakan, pengembangan produk abu terbang batu bara yang merupakan limbah sisa produksi, belum menjadi prioritas pemerintah. Padahal, dia menilai abu batu bara untuk material beton konstruksi sangat potensial sebagai pengganti semen yang sarat polusi.
“Saya sudah bicara dengan berbagai pelaku industri semen, ada yang sudah siap [mengembangkan fly ash], tetapi SNI belum [diperoleh]. Jadi tidak boleh jualan. Pemerintah harusnya tanggap dong, ini bahannya bagus, yang harusnya dibuang tetapi bisa digunakan. Kenapa tidak dipakai? Harusnya SNI cepat dibikin dong,” ujarnya, Rabu (14/9/2016).
Menurutnya, bila penggunaan semen dapat dikurangi dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan, maka kerusakan alam yang diakibatkan oleh industri semen dapat dikurangi. Dia menjelaskan, pembuatan semen membakar karbon dioksida yang sangat banyak yang menjadi polutan bagi lingkungan, juga dalam proses pengolahan semen menjadi beton, memerlukan sumber daya air yang cukup banyak.
Davy menilai kesadaran pelaku industri semen untuk melakukan proses konstruksi berkelanjutan (sustainable construction), yang salah satu di antaranya dengan memanfaatkan material ramah lingkungan, masih belum memadai. Selain itu, ketersediaan material konstruksi ramah lingkungan di tanah air juga belum optimal.
Meski demikian, dia mengatakan beberapa gedung kantor di pusat kota Jakarta telah menerapkan konsep konstruksi berkelanjutan dalam pembangunannya. Biasanya gedung yang dibangun dengan predikat green and sustainable building itu merupakan gedung kantor yang akan disewakan kepada penyewa asing.
“Penyedia gedung perkantoran menyesuaikan dengan misi perusahaan asing. Jadi penyedia mau tidak mengikuti tren go green itu? Kalau tidak, tidak akan dapat penyewa,” jelasnya.
Gedung yang dibangun secara berkelanjutan biasanya memiliki sertifikat yang menggambarkan poin yang diperoleh berdasarkan kriteria hemat energi baik dari segi operasi, maupun proses konstruksi yang menggunakan material ramah lingkungan. Dia mencontohkan dari skala 1 hingga 100, proses konstruksi menyumbang 10 poin.
Semakin banyak proses konstruksi menggunakan material ramah lingkungan, maka semakin tinggi poin yang diperoleh. Sayangnya, minimnya ketersediaan material konstruksi ramah lingkungan di dalam negeri membuat gedung perkantoran yang dikategorikan hijau hanya mampu memperoleh nilai konstruksi 6 hingga 7 poin.
“Yang masih susah dilakukan itu recycle concrete. Jadi, beton yang tua, dibongkar, dipakai lagi, dicampur lagi. Di negara maju sudah menggunakan itu, tetapi di sini belum memulai,” ujarnya.
Dia menjelaskan, rata-rata gedung dengan konsep green building yang ada di Indonesia baru memiliki sertifikasi gold.
Davy mengatakan tengah mengejar target sertifikasi platinum untuk green building dalam proses konstruksi gedung Indonesia Satu. Bila berhasil, gedung pencakar langit itu akan menjadi gedung pertama yang meraih sertifikasi platinum untuk kategori green building.