Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemerintah menghentikan kegiatan penanaman sawit sebagai kebijakan yang tidak tepat karena kegiatan itu memiliki izin serta dibebani hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum.
"Pembatasan budi daya sawit itu untuk kawasan gambut serta di kawasan hutan primer dan kawasan konservasi," kata Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan Achmad Manggabarani Jakarta menanggapi pernyataan Dirjen Planologi kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang.
Menurut San Afri, KLHK akan menunda perubahan peruntukan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan melakukan evaluasi terhadap pelepasan dan tukar kawasan terhadap perkebunan kelapa sawit yang belum dibangun serta terindikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan, tukar menukar, yang terindikasi dipindahtangankan pada pihak lain, izin sawit existing yang luas tutupan hutannya masih produktif dan keberadaan kebun sawit dalam hutan.
Dari kriteria tersebut, kata dia, potensi yang dapat dijadikan obyek moratorium seluas 948.418,79 ha. Asumsinya, batas moratorium diitetapkan selama lima tahun.
Menurut Manggabarani, moratorium yang diberlakukan mulai 2010 pada pemerintah SBY dan dilanjutkan pemerintahan saat ini, fokusnya adalah pembatasan kegiatan budi daya pada lahan gambut.
"Sangat tidak tepat jika pemerintah melarang sawit karena itu membatasi hak berusaha di Indonesia," kata mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu.
Seharusnya, menurut dia, pemerintah perlu fokus mengawasi dan mengevaluasi keberhasilan pada kawasan-kawasan yang telah di moratorium dan memetakan kawasan-kawasan mana saja yang bisa dipergunakan untuk kegiatan budi daya.
"Bagus jika ke depan kita akan mengembangkan komoditas lain seperti kopi, tebu dan lain sebagainya. Tapi tidak bijaksana jika pemerintah melarang sawit yang merupakan komoditas unggulan hanya dengan alasan perlu mengembangkan komoditas lain," katanya.
Menurut Manggarani, selama ini perkebunan sawit menaati keinginan pemerintah untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan serta meningkatkan intensifikasi melalui penanaman bibit unggulan dan peremajaan (replanting).
"Tapi ekstensifikasi juga menjadi keharusan agar karena permintaan CPO kedepan masih besar.Kita tidak boleh menutup mata hanya untuk memenuhi kepentingan ego sektoral semata," katanyai.
Sementara itu Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) KSKP IPB Dr Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan keputusan untuk melakukan moratorium perkebunan kelapa sawit harus mengacu pada beberapa aspek seperti sosial, ekonomi dan posisi Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan simulasi apakah target target produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebanyak 40 juta ton pada 2020 sudah mencukupi atau perlu dikembangkan.
Hal itu, menurut dia, bisa dihitung dengan penanaman sawit yang sudah dilakukan serta pengembangan perkebunan sawit kedepan, sehingga dari bisa di lihat apakah dengan kebun-kebun sawit yang ada sudah mencukupi atau perlu ditambah.
Kalau memang pemerintah ingin meningkatkan ekspor CPO, tentu ektensifikasi masih perlu, tambahnya, perrsoalannya adalah, pemerintah perlu berkoordinasi untuk menentukan target produksi yang jelas.
"Perlu target yang jelas,apakah kita mau jualan CPO atau mengembangkan produk-produk turunan. Kita juga harus mempertimbangkan pengembangan produk sawit dari sejumlah negara seperti Afrika dan Brasil agar harga jual produk CPO Indonesia bisa stabil," katanya.
Moratorium Perkebunan Sawit Kebijakan Tidak Tepat
Upaya pemerintah menghentikan kegiatan penanaman sawit sebagai kebijakan yang tidak tepat karena kegiatan itu memiliki izin serta dibebani hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Martin Sihombing
Editor : Martin Sihombing
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
4 jam yang lalu
Kemendag Pastikan Minyakita Tidak Kena PPN 12%, tapi 11%
5 jam yang lalu