Bisnis.com, JAKARTA--Sejumlah pakar menyuarakan penghentian kegiatan budididaya lahan gambut berpotensi mengganggu kepastian usaha, termasuk minat penanaman modal asing ke dalam negeri.
Pakar hukum Lingkungan Universitas Parahyangan Daud Silalahi menilai, perlu adanya proses panjang mulai dari kajian ilmiah yang menyeluruh (full sceintifiec rieview) dari semua sisi, baik lingkungan maupun bisnis, sebelum menyetop kegiatan budididaya di lahan gambut.
Kajian ilmiah tersebut juga harus dilakukan para pakar bereputasi internasional, serta keputusannya berlaku dan memiliki model yang berlaku umum di dunia.
“Itu berarti, pemerintah tidak bisa langsung menetapkan bahwa keputusan untuk menghentikan kegiatan budidaya di lahan gambut sudah tepat dan bisa langsung dieksekusi jika belum melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh,” paparnya dalam rilis, Rabu (29/6/2016).
Menurut Daud, perusahaan yang dirugikan juga bisa mengajukan keberatan terhadap pemerintah, jika ternyata kajian-kajian itu tidak dilakukan oleh para pakar bereputasi internasional di bidangnya.
Dalam kasus moratorium gambut, sambungnya, perusahaan sebenarnya bisa berargumentasi, apalagi kondisi yang ada tidak seperti yang dikhawatirkan. Keberadaan teknologi yang canggih saat ini tentunya bisa membantu untuk mengatasi masalah.
Lebih jauh, Daud menyampaikan, konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya terfokus kepada lingkungan saja, tetapi juga harus mendukung pro pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Risiko lingkungan pasti akan timbul dalam pengelolaan apapun, tetapi keseimbangan antara kebutuhan manusia haru diprioritaskan.
Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora menyampaikan, moratorium budidaya gambut merupakan wacana yang keliru. Alasannya, hal tersebut merugikan Indonesia karena serapan tenaga kerja dan kontribusi besar bagi perolehan devisa akan berkurang.
Menurutnya, pihak yang paling diuntungkan apabila moratorium di kawasan budidaya diberlakukan adalah negara-negara barat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
“Sudah saatnya, regulasi memberikan tempat kepada sektor swasta untuk ikut memberikan tanggung jawab terkait masalah lingkungan. Jangan menyerahkan persoalan lingkungan kepada kepentingan LSM asing," tandasnya.