Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia menilai Singapura telah mencederai Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution atau AATHP karena berniat mengadili pelaku pembakar hutan dan lahan asal Indonesia di Negeri Singa.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan penanganan bencana asap termasuk langkah penegakan hukum harus merujuk pada AATHP sebagai sebuah perjanjian multilateral. Sayangnya, Singapura secara sepihak membuat aturan mengenai pengadilan terhadap warga negara asing di negeri jiran itu.
“Seharusnya Singapura tunduk pada AATHP. Kalau dia melangkah lebih jauh berarti mencederai solidaritas Asean dan melampaui AATHP,” katanya saat Rapat Kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (15/6/2016).
Singapore Transboundary Haze Pollution Act (STHZ)—undang-undang yang meratifikasi AATHP—memuat klausul bahwa beleid itu berlaku bagi warna negara Singapura maupun negara asing yang menjadi biang polusi asap di Negeri Singa. Otoritas Singapura menggunakan azas pembuktikan terbalik bagi para terduga pembakar hutan.
Beberapa waktu lalu, Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura menerima perintah pengadilan untuk menangkap direktur salah satu perusahaan asal Indonesia bila berkunjung ke sana. Perintah pengadilan menyusul yang bersangkutan tidak menghadiri proses investigasi atas kasus yang diselidiki.
“Pemerintah telah mengirimkan surat protes lewat Kementerian Luar Negeri. Saya juga terus berkomunikasi dengan Menlu,” kata Siti.
Data Konsesi
Menurut mantan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah ini, Singapura sejak meratifikasi AATHP menuntut Indonesia untuk membagi data batas wilayah konsesi dan land use. Namun, permintaan itu tidak digubris karena pemerintah menganggap data konsesi juga menjadi domain swasta dan masyarakat.
“Konsesi dan land use berkaitan langsung dengan dinamika manusia. Bukan cuma alam di situ, tapi ada aktivitas manusia, political will, dan sebagainya. Jadi akan sangat banyak konsekuensi kalau diserahkan,” katanya.
Selain Indonesia dan Singapura, negara yang sudah meratifikasi AATHP adalah Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Sama dengan Indonesia, Malaysia juga menolak permintaan Singapura.
“Yang sudah kami sepakati itu tukar menukar informasi tentang titik api, pengayaan analisis iklim, dan teknologi untuk atasi kebakaran. Setiap tahun para menteri bertemu,” katanya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mohammad Mahfud M.D. juga menilai Singapura dinilai tidak berwenang mengadili eksekutif perusahaan pembakar hutan dan lahan asal Indonesia.
Dia mengingatkan bahwa proses peradilan atas sebuah perbuatan pidana hanya dapat dilakukan di negara tempat melakukan pidana. Oleh karena pembakaran hutan terjadi di Indonesia—meskipun menyebabkan bencana asap di Singapura—maka hanya otoritas Indonesia yang berhak mengadili para pelaku.
“Kalau memang perusahaannya yang terdaftar di Singapura, perusahaannya saja yang ditutup sama Singapura. Sementara tindak pidananya tidak bisa mereka hukum. Kita punya kedaulatan sendiri,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Di samping itu, Mahfud mengatakan Indonesia-Singapura juga tidak terikat dengan perjanjian ekstradisi. Jika pun nanti kedua negara meratifikasi ekstradisi, proses penegakan hukum harus melalui serangkaian prosedur.