Bisnis.com, JAKARTA--Indonesia gagal mendapatkan label layak investasi (investment grade) dari S&P.
S&P mengkonfirmasi kegagalan Indonesia mendapatkan label layak investasi setelah secara resmi mengafirmasi rating Indonesia pada posisi BB+ untuk utang luar negeri jangka panjang dan B untuk utang luar negeri jangka pendek.
S&P menjadi satu-satunya lembaga pemeringkat yang belum memberikan rating layak investasi bagi Indonesia. Fitch memberikan label layak investasi pada Indonesia sejak 2011, sementara Moody's telah memberikan stempel tersebut sejak 2012.
Senior Economic Analyst Kenta Institute menilai kegagalan Indonesia mendapatkan label layak investasi dari S&P bisa berdampak negatif bagi performa surat utang negara (SUN). Nilai SUN Indonesia bisa turun dan pemerintah harus meningkatkan imbal balik (yield) agar investor berminat. Namun dampak tersebut hanya jangka pendek karena berkaitan dengan persepsi saja.
"Sebenarnya banyak ekonom yang sudah duga tidak akan ada perbaikan rating dari S&P karena ada risiko defisit anggaran naik dan kinerja pertumbuhan ekonomi juga tidak optimal," katanya di Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Dia menilai fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya tidak terlalu jelek terlepas dari apa yg sudah disampaikan S&P. Terkait risiko pelebaran defisit yang disampaikan S&P agak sulit turun.
"Makanya pemerintah berharap tax amnesty. Lihat saja nanti apa benar tax amnesty bisa naikkan penerimaan pemerintah tahun ini," tuturnya.
Dalam siaran resminya, S&P menganggap kerangka fiskal Indonesia sebenarnya menjukkan perbaikan terlihat dari perbaikan kualitas belanja negara dan dampak fiskal yang lebih terukur. Namun, kinerja fiskal Indonesia belum meningkat dari sisi siklus dan struktur.
Indonesia gagal mendapatkan label layak investasi karena pendapatan per kapita yang masih rendah dengan perkiraan sekitar US$3.600 pada 2016. Hal ini menunjukkan kebijakan ekonomi di masa lalu tidak menciptakan kesejahteraan bagi Rakyat Indonesia.
Setelah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari 5% pada 2014 menjadi 4,8% pada 2015, S&P mengharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 akan bertengger pada level 5%. Dia mengharapkan pertumbuhan ini ditopang oleh investasi swasta yang diproyeksikan tumbuh 6%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 hingga 2019 akan ada di rerata 5,5%.
Selain itu, dia memproyeksikan defisit anggaran Indonesia akan melebar ke level 2,7% dari PDB pada 2016 dibandingkan 2,5% pada 2015. Angka defisit bakal melebar dengan rerata 3% dari PDB sepanjang 2016 hingga 2019.
S&P juga menyoroti kualitas kredit swasta yang terus menurun sejak akhir 2014, lalu kondisi ini semakin memburuk pada pada 2015 karena permintaan konsumen yang melemah dan harga komoditas yang anjlok. Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami perlambatan pendapatan dan arus kas.
"Kami baru saja memberikan rating negatif bagi hampir sepertiga perusahaan Indonesia," tambahnya.
S&P mengharapkan ketergantungan perusahaan Indonesia pada utang luar negeri berkurang dan menambah lindung nilai mata uang asing lantaran meningkatnya risiko pembiayaan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Lembaga pemeringkat dari Amerika Serikat tersebut mengatakan Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan label layak investasi asalkan ada perbaikan kerangka fiskal seperti defisit anggaran yang menyempit dan tingkat utang yang rendah.
Dimintai tanggapan, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan sebenarnya aspek-aspek yang selama ini menjadi "ganjalan" S&P tidak memberi investment grade sejak 2-3 tahun lalu sudah diselesaikan semua, termasuk masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pembangunan infrastruktur.
"Tapi it's ok. Selama ini juga tanpa IG [investment grade] dari S&P kita sudah mendapat respek dari dunia internasional. Kita terus kerjakan saja agenda-agenda fiscal reforms kita," ujar Suahasil lewat pesan singkat.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Bobby Hamzar Rafinus mengemukakan S&P masih ingin melihat upaya pemerintah mengatasi tekanan fiskal yang cukup berat tahun ini. Pendapatan per kapita rendah karena nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi terhadap dolar AS hingga Rp13.500 hingga Rp13.600 per dolar AS. Dia mempekirakan pendapatan per kapita tahun ini hanya akan berada di level US$3.400.
Dia mengakui pertumbuhan kredit dalam negeri terus melambat karena investor masih menunggu realisasi belanja pemerintah. Jika pemerintah cepat membelanjakan anggaran maka investor akan aktif menggelontorkan investasi.
Dari sisi defisit anggaran, pemrintah berusaha menekan defisit anggaran agar tidak mendekati 3%, bahkan hanya 2,5% dari PDB. Caranya dengan meningkatkan penerimaan pajak yang salah satunya melaluu program pengampunan pajak (tax amnesty).