Bisnis.com, JAKARTA--Kalangan ahli menyampaikan pemanfaaatan budi daya tanaman di lahan gambut masih potensial dan perlu dimaksimalkan agar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Director Tropical Peat Research Laboratory Lulie Melling menyarankan kepada pemerintah Indonesia agar fokus pada penanaman bernilai ekonomi tinggi yang memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan negara.
Menurut Lulie, sawit dan akasia merupakan jenis tumbuhan yang baik ditanam di lahan gambut. Selain bernilai ekonomi tinggi dan kompetitif, flora ini memiliki kemampuan menyerap karbondioksida (CO).
“Sebenarnya, ada banyak tumbuhan bisa dibudidaya di lahan gambut, namun tidak semuanya ekonomis dan membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (10/5/2016)
Pakar dan konsultan tanah gambut yang telah meneliti selama lebih dari 25 tahun itu mengungkapkan, pemerintah Indonesia harus mendukung pengembangan komoditas berdaya saing untuk meningkatkan kesejahteraan, serta kualitas sumber daya manusia.
Di Malaysia, pemerintah setempat mempunyai komitmen kuat untuk memperbaiki gambut sekaligus memanfaatkannya dengan tanaman bernilai ekonomi.
Selain ekosistem gambut yang semakin baik, Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi berkat pemanfaatan gambut.
Gambut ibarat itik mengeluarkan telur emas.
“Gambut di Indonesia dan Malaysia punya banyak kemiripan. Karena itu kami ingin membantu dan memberikan masukan kepada pemerintah Jokowi mengenai pengelolaan tanaman-tanaman produktif dan bernilai ekonomi yang tepat di lahan gambut,” tambahnya.
Senada, Wakil Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suwardi mengatakan, tanaman sawit, akasia, dan karet sangat cocok untuk dikembangkan pada lahan gambut.
Selain kemampuan beradaptasi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan sulfat masam, ketiga tanaman itu mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurutnya, sawit pertama kali dikembangkan masyarakat sebagai antisipasi kegagalan proyek nasional transmigrasi.
Salah satu programnya ialah mengembangkan penanaman padi di lahan gambut pada tahun 1970-an.
Awalnya penanaman padi memang berhasil.
Namun, setelah hampir 20 tahun produktifitasnya turun tajam dari 5 ton per hektare menuju 1 ton per hektare, sehingga menjadi tidak ekonomis.
Untuk mengantisipasi kegagalan itu, petani beralih menanam sawit.
Survei pada tahun 2000-an menunjukkan, sawit rakyat berhasil dikembangkan pada lahan gambut yang terdegradasi.
Penanaman sawit tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara drastis.
“Di Jambi banyak petani sawit yang mampu membangun rumah dan menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi,” tuturnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, penanaman sawit dan akasia di lahan gambut dikembangkan swasta.
Pengelolaan jenis tanaman ini dinilai berhasil karena produktifitasnya tinggi dan kondisi gambut tetap terjaga.
Hal itu karena teknologi pengaturan air omotatis (ekohidro) yang diterapkan swasta sangat membantu ekosistem gambut tidak menjadi kering.
Pengamat gambut IPB Basuki Sumawinata menambahkan, tanaman multikultur seperti sagu dan jelutung untuk mengganti tanaman monokultur yang selama ini ada seperti sawit tidak menjamin lahan gambut sulit terbakar.
“Hingga kini, masih banyak lahan sagu yang tetap berbakar di selat panjang serta di wilayah Kalimantan Selatan,“ ujarnya.
Basuki berpendapat, pemanfaatan gambut untuk kepentingan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) tetap dapat dilakukan dengan penerapan teknologi seperti tata kelola air (water management) dan pemadatan, merupakan solusi dalam pemanfaatan gambut.