Bisnis.com, JAKARTA - Daya saing industri manufaktur Indonesia stagnan dalam 20 tahun terakhir, tertahan produktivitas yang rendah di industri produk konsumer dasar.
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), badan PBB untuk pembangunan industri, menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat ke-42 berdasarkan indeks Competitive Industrial Performance (CIP) per 2013.
CIP mengukur daya saing industri manufaktur setiap negara berdasarkan kapasitas mereka meningkatkan peran industri di pasar internasional sambil mengembangkan sektor industri yang bernilai tambah lebih tinggi dengan konten teknologi lebih canggih.
Negara dengan industri manufaktur berdaya saing paling tinggi adalah Jerman, diikuti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan China. Posisi Indonesia dalam peringkat CIP UNIDO relatif stagnan bergerak pada kisaran peringkat ke-39 sampai ke-44.
Di level Asean, daya saing Indonesia masih di bawah Singapura yang menempati peringkat ke-7, Malaysia 24, dan Thailand 26. Adapun industri manufaktur Vietnam berkembang paling pesat, naik dari posisi ke-91 menjadi ke-50 dalam 20 tahun terakhir.
Kepala Statistik UNIDO Shyam Updhyaya menjelaskan daya saing Indonesia tertahan oleh populasi penduduk yang besar. Industri dalam negeri dituntut memenuhi kebutuhan dasar, sektor yang biasanya bernilai tambah kecil dan berteknologi rendah.
Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah industri produk seperti makanan dan minuman, perlengkapan mandi, pakaian, furnitur, hingga sepatu.
Di sisi lain, kontribusi industri berteknologi sedang hingga tinggi pada 2013 baru mencapai 35,7% dari nilai tambah industri manufaktur dan 40,3% dari nilai ekspor.
“Porsi industri berteknologi tinggi dan nilai tambah per kapita masih rendah. Ini bisa dijelaskan dari jumlah penduduk Indonesia yang besar. Perkembangan masih berfokus pada produksi produk konsumer dasar,” kata Upadhyaya.