Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan menarik dana dari luar negeri bukan pekerjaan yang mudah. Terkadang, pekerjaan itu harus berbenturan dengan regulasi di negeri tempat warga Indonesia melarikan dana hasil kejahatan mereka.
Dari catatan Kementerian Keuangan, potensi dana yang bisa ditarik di luar negeri mencapai Rp11.400 triliun. Jumlah tersebut hampir setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar Rp12.000 triliun.
Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengakui hal itu, dia melihat peraturan di negara-negara tersebut cenderung melindungi warga Indonesia yang menyimpan dana mereka, termasuk dana kejahatan.
"Itu yang menjadi kesulitan, salah satunya karena perbedaan hukum yang berlaku di negara kita dengan yang berlaku di luar negeri," ujar Agus seusai menjadi pembicara dalam diskusi ‘Membedah Kontroversi Panama Papers dan Tax Amnesty' di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (12/4/2016).
Agus membagi dua alasan warga terutama Politically Exposed Person (PEP) menyimpan dana mereka ke luar negeri. Kategori pertama yakni orang yang sudah menjadi buronan. Dalam kapasitas itu, orang-orang tersebut melarikan uang hasil kejahatan, salah satunya adalah buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Bali.
“Yang kedua terkait dengan perpajakan, digunakan untuk menghindari pajak. Kami sendiri sejak beberapa tahun lalu sudah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk menarik pajak tersebut,’” imbuh dia.
Terkait dengan hasil investigasi dari Consortium International of Investigative Journalist (ICIJ) atau Panama Papers, PPATK mengklaim sudah mengantongi indikasi keberadaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Saat ini, mereka masih memverifikasi laporan itu dengan Laporan Hasil Analisis (LHA) milik PPATK.
Selain langkah tersebut, lembaga analis keuangan pemerintah itu juga mencocokkannya dengan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM). PPATK mencatat transaksi mencurigakan selama bulan Januari hingga Februari 2016 mencapai 262.694. Jumlah itu nanti akan dibandingkan dengan data Panama Papers dan Laporan Harta Penyelenggara Negara (LKHPN) milik KPK.
“Hasil analisis yang sebelumnya sudah diserahkan kepada KPK akan kami cocokan lagi dengan Panama Papers. Nantinya akan menjadi bahan untuk ditindaklanjuti. Paling cepat minggu depan data itu sudah diberikan kepada DJP,” jelas dia.
Agus Santoso menjelaskan, pada tahun lalu, hasil kersajama antara PPATK dengan DJP berhasil menagih uang pajak dari wajib pajak senilai Rp2,5 triliun.
Amran Imran perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan mereka sudah memilki data terkait jumlah wajib pajak yang menghindar dari kewajibannya. Saat ini, kata dia, DJP sedang dalam proses memilah data sebagai target wajib pajak dan yang masuk ke ranah pidana.
Namun demikian, langkah itu akan lebih maksimal jika ada integrasi data antar institusi. Integrasi data tersebut diperlukan untuk mempermudah mereka menginvestigasi wajib pajak.
Amran menilai aturan yang berbelit-belit, membuat kinerja DJP tidak maksimal untuk menarik wajib pajak. Dia menyoroti masalah tersebut terkait dengan akses data di dunia perbankan, dia menilai DJP cukup kesulitan mengakses rekening rekening bank wajib pajak. Kalaupun bisa harus menjalani proses yang cukup panjang. ‘Harus izin ke Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan,” tandas Amran.
Untuk itu, dia berharap integrasi data segera terwujud. Hal itu diperlukan untuk menopang kinerja Dirjen Pajak dalam memaksimalkan pendapatan negara melalui pajak. Namun demikian, integrasi itu akan jauh lebih optimal dengan menguatkan undang-undang perpajakan. “Dengan penguatan tersebut, nantinya kami bisa lebih bergigi dalam memaksimalkan penerimaan pajak,” imbunya.
Rerformasi Perpajakan
Senada dengan Amran, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menyatakan, pembenahan regulasi perpajakan menjadi kebutuhan yang mendesak. Menurut dia, langkah itu penting jika pemerintah benar-benar ingin mendapatkan pemasukan yang maksimal dari sektor perpajakan tersebut.
Dia menilai, jangan sampai Tax Amnesty hanya digunakan untuk memutihkan wajib pajak saja. Momentum Tax Amnesty seharusnya dibarengi dengan perbaikan regulasi perpajakan nasional, bahkan jika perlu reformasi perpajakan.
Peneliti ICW Firdaus Ilyas menambahkan sebelum menerapkan tax amnesty, pemerintah seharusnya membenahi syarat fundamentalnya. Dia khawatir, jika hal itu belum dilakukan, undang-undang tersebut akan menguntungkan para pengemplang pajak. “Kami tidak anti Tax Amnesty, tetapi sebelum menerapkan kebijakan tersebut, prinsip-prinsip dasarnya harusnya diperbaiki,” jelas dia.
Menururnya, ada cara lain yang bisa ditempuh selain menerapkan tax amnesty, yakni mengoptimalkan penerimaan pajaknya. “Kalau memang terkait dengan Tax Amnesty, buat dulu sistemnya," jelas dia.
Dia menengarai, banyak pihak yang mendompleng terkait pembahasan undang-undang pengampunan pajak tersebut. Sehingga diperlukan kajian yang cermat sebelum undang-undang itu disahkan.
"Mau diterapkan, seharusnya dibenahi dulu pengwasannya, database-nya, termasuk koordinasi para penegak hukumnya," kata Firdaus.
Dia mengamati, di negara lain Tax Autority mempunyai kewenangan untuk mengakses data milik perbankan. Hal itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Undang-Undang kerahasiaan perbankan seharusnya direvisi.
Namun demikian dia menilai DPR tampaknya tidak memiliki etikat untuk merevisi undang-undang kerahasiaan perbankan tersebut. “Mereka mau tidak, atau jangan-jangan takut rahasia transaksi mereka terbongkar,” ujarnya.