Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERIKANAN TANGKAP, Level Playing Field ala Menteri Susi

Pemberantasan illegal fishing dan moratorium izin kapal eks asing memberi ruang bagi nelayan kecil.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti/Antara
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Dunia telematika dikejutkan dengan pemblokiran situs Netflix pada akhir Januari lalu. Alih-alih menolak, Menkominfo Rudiantara memahami dan bahkan mengapresiasi langkah tersebut.

Pemblokiran itu adalah puncak dari rasa ketidakadilan di industri konten Internet. Para penyedia over the top (OTT) asing bebas menggarap pasar nasional, meraup untung jumbo, tanpa badan hukum dan bayar pajak. Juga tidak ada bagi bagi hasil dengan operator seluler.

Rudiantara pun berjanji akan memperbaiki kondisi tersebut guna menuju ke arah level playing field. Sebuah kondisi di mana semua pemain dikenakan aturan yang sama tanpa kecuali. Terminologi ini makin mengemuka setelah demonstrasi sopir taksi menentang Uber dan Grab.

Di industri perikanan, Susi Pudjiastuti jauh lebih cepat mengendus playing field yang tidak setara. Wilayah penangkapan ikan atau fishing ground potensial Indonesia seperti Laut Natuna, Laut Arafuru, dan perairan perbatasan dikuasai para pencuri ikan asing.

Mereka masuk dengan kapal raksasa dan alat tangkap canggih yang merusak biota. Bahkan, sebagian aksi itu dilindungi dari aparat negaranya seperti terjadi saat insiden Laut Natuna baru-baru ini.

Ketika ditunjuk menjadi Menteri Kelauatan dan Perikanan, langkah pertama Susi adalah membasmi pencurian ikan ini. Penenggelaman kapal pun menjadi program andalan hingga 1,5 tahun dia menduduki kursi itu.

Susi juga sadar ketidakadilan dalam perikanan tangkap juga dilakukan orang Indonesia sendiri. Mereka ini memiliki izin usaha dan penangkapan, tetapi kerap tidak melaporkan hasil tangkapan. Modusnya lewat alih muatan di tengah laut atau transshipment.

Sebagaimana pencuri asing, mereka ini dianggap kuat karena mengoperasikan kapal-kapal impor berukuran jumbo. Langkah Susi memberangus pencuri asing tentu akan membuat kelompok ini menguasai penangkapan ikan yang ditinggalkan asing.

Tidak ingin ini terjadi, Susi pun melarang sementara (moratorium) kapal-kapal eks-asing. Mereka wajib audit kepatuhan untuk membuktikan tidak melakukan kesalahan itu.

Dengan dua langkah ini, Susi merasa usaha perikanan tangkap mendekati level playing field. Peniadaan asing dan pelaku usaha yang melanggar aturan meninggalkan sebuah ‘medan main’ yang ideal.

Kekosongan itu bakal diisi oleh nelayan, kelompok yang bertahun-tahun termarjinalkan dan hanya menjadi penonton oleh aksi dua kelompok pertama.

Sebagian ruang lagi diisi oleh kelompok usaha yang benar-benar baru. Jika pun pemain lokal lama ingin kembali berlaga, mereka harus lolos dari berbagai persyaratan dan ketentuan.

KEMAMPUAN NELAYAN

Namun, ‘medan main’ seperti ini menimbulkan tanda tanya. Apakah laut Indonesia bisa termanfaatkan dengan sempurna jika dikuasai secara kuantitas oleh para nelayan? Mumpunikah tambahan 3.325 kapal bantuan berukuran 5 GT sampai 30 GT menggarap laut seluas 5,8 juta km persegi?

Bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, hal ini mustahil. Dengan potensi perikanan tangkap (maximum sustainable yield/MSY) sebesar 7,3 juta ton per tahun, sedikitnya yang dapat dieksploitasi sebesar 80% dari jumlah stok.

“Jadi ada sekitar 6 juta ton yang seharusnya bisa ditangkap oleh nelayan. Tapi 68% dari 2,7 juta nelayan menggunakan kapal di bawah 30 GT. Kalau seperti ini mana bisa menjangkau kawasan yang tidak over fishing [stok ikan habis],” ujar Guru Besar Ilmu Perikanan Institut Pertanian Bogor ini.

Celakanya lagi, walaupun pemerintah sudah menyiapkan ekosistem yang diprediksi terbebas dari IUU Fishing, sektor perikanan tangkap bukanlah bisnis menarik.

Rokhmin bercerita pernah mengajak taipan-taipan kakap seperti Anthoni Salim (Grup Salim), Franky Widjaja (Grup Sinar Mas), dan Prajogo Pangestu (Grup Barito) untuk terjun ke usaha ini. “Mereka tidak mau, katanya terlalu berisiko tinggi. Jadi tidak ada orang kaya di sektor perikanan,” ucapnya.

Bila keadaan ini tak berubah, bukan mustahil sektor perikanan tangkap hanya digarap oleh nelayan. Namun, langkah Susi berikutnya justru membalikkan prediksi ini.

LARANG ALAT TANGKAP

Nelayan empunya kapal di bawah 30 GT tidak lagi kena pungutan. Namun, dia menaruh curiga, karena ada kemungkinan manipulasi bobot kapal. Susi pun menginstruksikan pengukuran ulang. Konsekuensinya, waktu mendapatkan izin menjadi lebih lama sehingga nelayan tidak bisa melaut berbulan-bulan.

Langkah yang dinilai paling membebani nelayan adalah pelarangan cantrang berupa pukat hela dan pukat tarik. Padahal, di beberapa tempat seperti utara Pulau Jawa, alat ini sudah mendarah daging. Bisa ditebak, mereka tidak bisa melaut.

Lambat laun, kebijakan-kebijakan Susi tersebut justru menghasilkan anomali. ‘Medan main’ usaha perikanan lebih banyak berisikan rule dibandingkan game.

Padahal, rule of the game hanyalah sarana bukan tujuan. Bahkan, dari sisi ekonomi kapitalisme, kompetisi akan dianggap ideal jika pengaturan semakin nihil.

Kondisi perikanan Indonesia pun bisa ditebak. Ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke sentra-sentra industri perikanan di Ambon, Tual, dan Bitung, dia mendapati aktivitas yang praktis mati di sana. Ribuan nelayan nganggur karena izinnya diperumit. Implikasinya, pasokan-pasokan ikan ke pabrik pengolahan berkurang.

Wapres Kalla pun meminta evaluasi aturan sektor perikanan yang mengacu pada empat indikator: kesejahteraan nelayan, lapangan kerja, peningkatan ekspor, dan penerimaan negara. Data statistik menunjukkan hanya nilai tukar nelayan yang lebih baik, sisanya mengalami kemunduran.

Sang RI-2 pun meminta Susi untuk melonggarkan kembali regulasi-regulasi di sektor perikanan. Ini sejalan dengan paket-paket deregulasi pemerintah agar dapat menggeliatkan perekonomian.

Tidak ada tanda-tanda Susi akan mengubah pendiriannya. Kalangan pengusaha dan nelayan yang menamakan diri Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernasmapi) pun berencana menggelar unjuk rasa dan mogok melaut yang berpusat di Jakarta pada Hari Nelayan 6 April 2016.

Susi menduga rencana tersebut didalangi oleh ‘para agen IUU Fishing’ yang tak senang dengan kebijakan pemerintah. Menurut perempuan asal Pangandaran ini, nelayan hanya dijadikan obyek dari orang-orang ‘yang sekian lama menikmati untung, tetapi kini terusik’.

Salah satu pentolan Gernasmapi, Al Imron, membantah tudingan Susi. Dia mengklaim seluruh kegiatan murni bentuk keprihatinan atas kondisi-kondisi usaha perikanan dan nelayan di berbagai daerah.

“Semua dana untuk kegiatan kami berasal dari urunan himpunan dan asosiasi perikanan. Tidak ada dana dari asing.”

Sama halnya dengan pemblokiran Netflix atau unjuk rasa terhadap Uber dan Grap, aksi demonstrasi ini sebenarnya menyiratkan keinginan akan hadirnya level playing field. Dalam kasus OTT, level playing field dianggap belum ada karena pemerintah lamban mengintervensi.

Sebaliknya, di sektor perikanan pemerintah justru banyak campur tangan dengan regulasi—yang sebagian dibuat minim konsultasi dengan mereka. Tanpa ada perbaikan konkret, langkah-langkah Susi bisa bermuara pada terciptanya playing field yang tidak selevel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (28/3/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper