Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk. Sukandar mengatakan fasilitas blast furnace perusahaan yang ditarget beroperasi normal pada Oktober-November akan menghasilkan 1,2 juta ton hot liquid metal dengan produk sampingan slag sekitar 300.000 ton per tahun yang digunakan sebagai bahan baku semen.
PT Krakatau Semen Indonesia perusahaan patungan PT Krakatau Steel Tbk. dengan PT Semen Indonesia Tbk. yang mengolah slag sisa fasilitas blast furnace menjadi bahan baku semen akan berproduksi Desember 2016.
“Blast furnace yang dimiliki Krakatau Posco dengan kapasitas produksi 3 juta ton setahun menghasilkan slag sekitar 700.000 ton, nanti bisa saja digabung. Ini sinergi BUMN, kepemilikan saham KS sebesar 49% dan Semen Indonesia 51% pada PT Krakatau Semen Indonesia,” ujarnya, Selasa (22/3/2016) .
Perusahaan, lanjutnya, tidak mengeluarkan uang cash untuk investasi pabrik ini. Tetapi, pendirian grinding blast furnace dan cement millberada di lahan Krakatau Steel, serta pasokan bahan baku diambil dari perusahaan.
Adapun nilai investasi pembangunan blast furnace hanya untuk engineering procurement construction mencapai US$529 juta. Fasilitas ini menggunakan batubara sebanyak 1,2 juta ton per tahun untuk proses pembakaran.
Reaktivasi
Direktur Produksi dan Teknologi PT KS Hilman Hasyim mengatakan setelah fasilitas blast furnace berenergi batubara beroperasi, perusahaan akan mengaktifkan kembali fasilitas produksi hulu baja yakni direct reduction dan electric arc furnace untuk memproduksi slab baja.
“Tujuannya agar fasilitas yang dimiliki tetap beroperasi. Jadi nanti material yang dihasilkan blast furnace dicampur dengan sponge ironyang dihasilkan dari direct reduction di dalam electric arc furnace,” ujarnya.
Melalu metode ini, lanjutnya, konsumsi energi listrik dapat ditekan menjadi 300 kWh per ton dari sebelumnya mencapai 600 kWh per ton. Dengan demikian, perusahaan dapat mereduksi biaya produksi slab hingga US$60 per ton dari penghematan energi hingga 100 Megawatt.
Selain itu, gas buang yang dihasilkan dari fasilitas coking plant penghasil kokas untuk blast furnace akan digunakan kembali dalam proses pembakaran. Sehingga, penggunaan gas alam dalam proses pembakaran yang dihargai US$7,3 per MMBTU dapat berkurang.
“Ini adalah gas ekses, sehingga produk kita lebih berdaya saing. Dengan harga baja dunia yang sangat rendah, kami harus menekan ongkos produksi. Sebelumnya electric arc furnace yang menggunakan gas alam menjadikan produk tidak mampu bersaing dengan impor,” tuturnya.