Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketika Logika Hukum Menteri Susi Bikin DPR Rela Berkompromi

"Background hukum saya kurang, tetapi saya biasa pakai logika. Saya percaya hukum itu harus logis dan kalau tidak logis maka batal demi hukum.”nn
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti/Antara
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti/Antara

"Background hukum saya kurang, tetapi saya biasa pakai logika. Saya percaya hukum itu harus logis dan kalau tidak logis maka batal demi hukum.”

Demikian kata-kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam Rapat Kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (3/3/2016). Raker kali ini akan menjadi tahap pamungkas perumusan RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sebelum dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

Suasana sidang agak panas karena Susi, selaku perwakilan pemerintah, berbeda pendapat dengan anggota parlemen mengenai pasal 77 dalam RUU itu.

Bunyinya, “Semua kebijakan yang bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam berdasarkan UU ini dinyatakan tidak berlaku.”

Klausul itu dianggap pemerintah mubazir karena  sudah ada pasal 76 yang berbunyi, “Pada saat UU ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.”

Susi menilai pasal 77 merupakan pengulangan dari pasal 76 kendati secara gramatikal keduanya berbeda. Menurutnya, pencantuman dua pasal Ketentuan Penutup itu akan mengerdilkan UU yang dibuat.

“Ini seperti sebuah produk, ada disclaimer-nya. Padahal UU ini adalah hasil kerja yang jelas dan pasti,” tutur mantan Presiden Direktur Susi Air ini.

Namun,  mayoritas fraksi Komisi IV memiliki pandangan berbeda. Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangungan Fadly Nurzal berujar pasal 77 akan memastikan setiap peraturan yang dibuat oleh instansi pemerintah pusat dan daerah tidak ditafsirkan berbeda saat UU berlaku.

“Jangan sampai kita berikan ruang bagi kementerian lain untuk berimprovisasi. Jadi ini untuk mengantisipasi aturan yang dibuat sesudah terbitnya UU ini. Kalau pasal 76 untuk membatalkan beleid yang sudah ada,” ujar politisi asal Sumatera Utara ini.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rofi Munawar menilai kata ‘kebijakan’ dalam pasal 77 akan lebih menguatkan kata ‘ketentuan’ dalam pasal 76. Menurut dia, kata ‘kebijakan’ mencakup hal-hal di luar peraturan yang dapat menjadi celah melanggar UU tersebut.

Dia mencontohkan Permendag No. 125/2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang merugikan petambak garam bisa langsung dicabut bila pasal 77 berlaku. “Jadi ini sebenarnya untuk mengamankan KKP juga,” katanya.

Senada, Anggota Fraksi Gerindra Darori Wonodipuro membeberkan masih banyaknya praktik perumusan permen yang bertentangan dengan UU. Itulah yang kemudian menjerumuskan pejabat baik saat masih menjabat maupun pasca purnatugas.

“Berapa banyak menteri yang masuk KPK karena kesalahan seperti ini? Saya tahu karena pernah jadi direktur jenderal selama 10 tahun,” kata mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan ini.

Satu-satunya fraksi Komisi IV DPR yang sepakat dengan pemerintah adalah Fraksi Partai Amanat Nasional. “Kami berpandangan pasal 76 sudah menganulir semua kebijakan yang bertentangan sehingga kami anggap sudah final,” kata Anggota F-PAN Haerudin.

Pemerintah bergeming. Alhasil, Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron selaku pimpinan sidang menskors Raker karena kedua belah pihak tidak mencapai titik temu. Dia lantas mempersilahkan perwakilan pemerintah dan juru bicara fraksi untuk melakukan lobi-lobi. Selang beberapa menit, Herman membuka kembali sidang dan langsung membacakan kompromi.

“Kami akhirnya sepakat isi pasal 77 tetap ada, tetapi dimasukkan dalam pasal 11 sehingga pasal 11 menjadi dua ayat,” ujarnya.

Namun, kalimat pasal 77 yang dicantolkan ke pasal 11 tidak sama lagi dengan semula. Ayat 2 pasal 11 berbunyi, “Pemerintah pusat dan daerah dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.”

Perdebatan pemerintah dan parlemen itu sebenarnya tidak substansial. Pasal-pasal krusial dalam RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah soal perlindungan dan pemberdayaan pelaku usaha perikanan skala kecil.

RUU itu akan memastikan pengadaan sarana produksi, menjamin kepastian usaha dan resiko, menghapus  praktik-praktik ekonomi biaya tinggi, hingga membangun infrastruktur penunjang.

“Ini merupakan rapat monumental dan menjadi catatan sejarah. Ini akan memberikan perlindungan dan pemberdayaan dari apa yang membelenggu, menghalangi, dan menjadi masalah di masyarakat pesisir, khususnya nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” kata Herman.

Seluruh fraksi lantas mengeluarkan pendangan mini yang seragam: menerima seluruh isi RUU. Dengan demikian, RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam akan dibawa Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU. Rapat Paripurna diagendakan berlangsung pada bulan ini.

“Setuju!!” seru 28 angggota Komisi IV DPR yang membuat Herman mengetok palu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper