Bisnis.com, JAKARTA—Penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh DPR RI yang diiringi dengan usulan revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merusak kepercayaan pengusaha kepada pemerintah.
Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, mengatakan gagasan tax amnesty yang dilanjutkan dengan penurunan tarif pajak penghasilan korporasi dari 28% menjadi 18% semula meningkatkan optimisme pengusaha atas reformasi perpajakan Indonesia.
“Semula pembahasan tax amnesty telah meningkatkan gairah kalangan pengusaha dan menunjukkan keseriusan pemerintah mengonsolidasikan data wajib pajak. Tetapi arah politik yang tidak dikelola dengan baik menurunkan kepercayaan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (28/2/2016).
Di samping itu, lanjutnya, usulan revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak semakin memperburuk suasana, karena dilakukan pada waktu yang tidak pas.
Skema Apindo, lanjutnya, penerapan tax amnesty dilanjutkan dengan penurunan tarif pajak penghasilan korporasi, sehingga dapat kompetitif dibandingkan negara tetangga. Namun, jika UU KUP dilakukan lebih dahulu, simpanan dana di luar negeri akan menghilang.
“Yang dihadapi ini pengusaha kelas kakap dengan intelektual tinggi. Jika UU KUP dengan akses ke perbankan dilakukan tetapi tax amnesty ditunda, maka orang-orang super kaya akan kabur. Walaupun akan berlaku pertukaran data otomatis, pemilik dana besar tetap memiliki celah kabur,” ujarnya.
Menurutnya, Apindo telah berupaya kuat merangkul pengusaha dengan uang yang sangat besar di luar negeri untuk memindahkannya ke dalam negeri, dengan catatan pemerintah memberlakukan tax amnesty.
Oleh karena itu, lanjutnya, penerapan tax amnesty tahun ini tidak boleh ditunda, mengingat berada pada momentum yang tepat ketika negara tengah kekurangan pendanaan. Hingga saat ini, pihaknya belum melihat opsi lain yang dengan cepat meningkatkan penerimaan negara.
“Kami tidak melihat opsi lain yang dengan cepat dapat meningkatkan penerimaan negara selain tax amnesty. Di negara manapun ketika ada tax amnesty dan penurunan tarif pajak, maka tingkat kepatuhan wajib pajak akan meningkat,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah bersama legislatif dan Bank Indonesia harus mengeluarkan kebijakan yang berani dan terukur. Penurunan BIrate yang hanya menjadi 7% dari harapkan 6%, misalnya, diyakini tidak akan berdampak banyak.
Di sisi lain, lanjutnya, pengesahan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) oleh DPR RI semakin memperkuat sinyal buruk kepada pengusaha. Beban pengusaha dan pekerja akan bertambah setelah sebelumnya ada iuran jaminan hari tua.
“Pengusaha menjadi demotivasi berinvestasi di Indonesia karena terlalu banyak beban. Jangan main-main dengan UU tax amnesty, KUP dan Tapera. Katanya sudah bikin XI paket kebijakan, tetapi implementasinya begini,” tuturnya