Bisnis.com, JAKARTA - Dunia usaha dan pemerintah langsung cemas begitu mendengar rencana penerapan pajak progresif minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Prancis. Pemerintah pimpinan Presiden Francois Hollande mengajukan klausul itu dalam rancangan undang-undang ke parlemen.
Pajak progresif berupa tarif impor CPO dan turunannya itu akan naik secara gradual. Pada 2017, tarif tiap ton CPO sebesar 300 euro, setahun kemudian melonjak menjadi 500 euro. Kenaikan menjadi 700 euro pada 2019, hingga berhenti di angka 900 euro.
Menteri Lingkungan Hidup Prancis Segolene Royal adalah arsitek dari pengenaan pajak progresif itu. Politikus Partai Sosialis Prancis sekaligus calon presiden 2007 itu sejak jauh-jauh hari sudah berniat “memerangi” CPO. Alasannya, komoditas tersebut menjadi penyumbang emisi karbon karena mengabaikan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Pemerintah Prancis segera menerima banjir protes dari sejumlah negara. Pebisnis kelapa sawit mencibir karena pajak progresif tidak dikenakan untuk minyak nabati lainnya, pesaing CPO tentu saja.
“Dari segi ekspor-impor dunia, ini sangat tidak lazim karena menyalahi norma perdagangan yang dianut mayoritas negara,” kata Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) Agus Purnomo.
Pekan lalu, pemerintah mengirimkan tim pelobi khusus ke Paris yang meminta parlemen menolak usulan pajak progresif. Indonesia bersama Malaysia menjadi pihak yang paling dirugikan karena 85% CPO global dihasilkan dari kedua negara ini.
SERTIFIKAT RSPO
Ketika perundingan di Paris tengah berlangsung, para petani kelapa sawit di Desa Tanjung Makmur, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, belum ambil pusing. Mereka punya jawaban sendiri atas tudingan praktik sawit Indonesia yang mengabaikan prinsip berkelanjutan. Itu dibuktikan, salah satunya, dengan sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang mereka miliki.
RSPO merupakan asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan menciptakan sawit berkelanjutan.
Desa Tanjung Makmur merupakan hasil pemekaran Desa Tanjung Benanak. Pada 1991, ketika keduanya masih menyatu, ada 579 kepala keluarga (KK) transmigran yang pindah ke desa tersebut. Masing-masing kepala keluarga mendapat satu kavling kebun sawit seluas 2 hektare dan 0,5 ha untuk perkarangan.
Kecamatan Merlung sendiri terdiri dari 19 desa. Sembilan desa, sebagaimana Tanjung Makmur dan Tanjung Benanak, merupakan kawasan transmigran. Total ada 4.600 KK transmigran di sembilan desa.
Mereka adalah petani plasma (petani binaan perusahaan perkebunan sawit), mengerjakan lahan di kawasan konsesi perkebunan perusahaan besar.
Tanjung Benanak dan Tanjung Makmur, misalnya, masuk areal perkebunan PT Inti Indosawit Subur (IIS), anak usaha Grup Asian Agri.
Kepala Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Kita—wadah bernaung petani sawit Tanjung Makmur dan Tanjung Benanak—Jumadi Manik mengklaim, seluruh anggotanya sudah mendapatkan sertifikat RSPO sejak 2013. Ketika itu, mereka didorong IIS untuk ikut sertifikasi RSPO dengan bantuan dana dari lembaga swadaya.
“Ada delapan prinsip dan 50 kriteria dalam RSPO, semua itu kami penuhi,” ujarnya ketika didatangi sejumlah media, Kamis (11/2/2016).
Prinsip IV RSPO adalah “penggunaan praktik terbaik yang tepat oleh perkebunan dan pabrik”. Salah satu kriterianya dengan meminimalkan penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida dalam aktivitas perkebunan.
Praktik berkelanjutan ini dijalankan oleh Mujiman, 50, petani kelapa sawit Tanjung Makmur. Sejak 2014, pria asal Karanganyar, Jawa Tengah, ini mengganti penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik.
Pupuk organik itu dia dapat dari kotoran delapan ekor sapi yang dipelihara di kebun. Mujiman bersama sang istri, Sunarti, 48, setiap hari menampung air seni sapi untuk diubah menjadi pupuk cair organik.
Tiap minggu sapi-sapi itu menghasilkan 125 liter air seni. Kurang dari dua minggu terkumpul 200 liter yang ditampung dalam sebuah drum.
Mujiman dan Sunarti kemudian mencapur air seni dalam drum dengan 2 kg gula merah, plus 1 kg penyedap rasa, dan 5 kg pupuk NPK. “Campuran itu difermentasi selama 15 hari sampai sebulan. Makin lama makin bagus kualitasnya,” kata Sunarti.
Pupuk itu mampu mencukupi kebutuhan kebun seluas 5 ha milik keluarga. Dulu, ketika masih pakai pupuk kimia, Mujiman butuh 3—4 kg urea per batang pohon sawit saat pemupukan yang dilakukan 4 bulan sekali. Sejak beralih ke pupuk organik, waktu pemupukan bisa lebih panjang yakni enam bulan.
Pupuk organik mereka bahkan surplus dan dijual Rp4.500 per liter kepada para petani lain. Penggunaan pupuk organik dapat menekan biaya produksi hingga 70%. Biasanya, petani setempat mengalokasikan Rp10 juta per tahun untuk kebutuhan pupuk.
Keluarga Mujiman tidak sendiri. Ada 30 KK lain yang memelihara sapi penghasil pupuk organik. Para petani mendapatkan pakan rumput dari PT IIS maupun dari kebun mereka sendiri.
Pada awalnya, petani mendapatkan masing-masing dua ekor sapi dari bantuan sosial pemerintah daerah. Kini sapi-sapi itu sudah beranak pinak hingga total mencapai 80 ekor.
JADI INSENTIF
Sekretaris Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Swisto Uwin menuturkan, penggunaan pupuk organik tidak hanya membuat usaha lebih efisien. Dampak lainnya adalah tanah menjadi lebih gembur sehingga membuat pohon sawit lebih produktif.
“Ini merupakan manajemen best practice yang bisa menjadi contoh untuk tempat-tempat lain. Prinsip sawit berkelanjutan harus dimulai dari desa.”
Kendati demikian, dia mengingatkan praktik sawit berkelanjutan hanya dapat menjadi masif bila petani mendapatkan insentif ekonomi. Sertifikat RSPO, imbuh Swisto, harus bisa menjamin harga tandan buah segar (TBS) lebih tinggi dibandingkan produk tanpa standar yang sama.
Menurut Ketua SPKS Tanjung Jabung Barat Jazuri, petani sawit bersertifikat RSPO memang sempat menikmati harga lumayan tinggi dibandingkan dengan para petani mandiri. Namun, seiring dengan perjalanan waktu keadaan sudah berbeda.
Dia mencontohkan TBS para petani plasma ber-RSPO dibanderol Rp1.300 per kg di pabrik, lebih rendah sekitar Rp100 dibandingkan dengan harga untuk petani mandiri. “Dalam sebulan rata-rata bisa menghasilkan 3 ton TBS per bulan. Jadi selisihnya lumayan,” ujarnya.
Jumadi Manik memaklumi bila umur pohon kelapa sawit menjadi patokan dalam penentuan harga TBS. Berdasarkan sifat alaminya, buah dari pohon sawit berumur 4—10 tahun memiliki rendeman lebih rendah dibandingkan usia 10—20 tahun. Di atas umur 20 tahun, rendemen kembali menyusut sehingga menjadi justifikasi pabrik mematok harga lebih rendah.
Dia berpendapat, jika kondisi ini terus terjadi bukan tidak mungkin motivasi petani menjalankan praktik sawit berkelanjutan meredup. Dengan usia pohon yang rata-rata 25 tahun, para anggotanya kini sudah mulai memikirkan peremajaan (replanting). Jumadi khawatir, ketika petani kembali menanam sawit, mereka mendapat harga jual yang tidak sebanding.
“Kalau begini, RSPO bisa jadi cuma sekadar nama. Tidak berjalan kalau pemerintah dan perusahaan inkonsisten [mengenai harga],” tutur perantau asal Sumatra Utara ini.
Ketika industri sawit Indonesia mendapat tudingan di luar, para petani adalah kelompok yang paling dirugikan. Merekalah pemilik 45% dari 13 juta ha perkebunan sawit di Tanah Air.
Komitmen praktik sawit berkelanjutan, entah apapun namanya, harus dapat memastikan petani merasakan keuntungan konkret. Jangan sampai praktik berkelanjutan menjadi sekadar bahan “jualan” kepada konsumen di luar di pasar global, sedangkan petani tidak mendapat apapun. ()