Bisnis.com, JAKARTA - PT Andini Karya Makmur dan PT Kadila Lestari Jaya menilai tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha keliru karena pasar kedua terlapor bukan di Jabodetabek.
Dalam perkara No. 10/KPPU-1/2015 tersebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menuduh terlapor terlibat dalam kartel perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Kuasa hukum terlapor I dan terlapor XXIX Rian Hidayat dari Kantor Hukum Makara mengatakan pangsa pasar terbesar justru hanya berada di wilayah Bandung.
"Pangsa pasar untuk klien kami di wilayah Jabodetabek rata-rata tidak lebih dari 0,5% setiap tahunnya sejak 2010 hingga saat ini," kata Rian seusai sidang pemeriksaan terlapor, Senin (15/2/2016).
Dia menambahkan lokasi kandang penggemukan sapi milik kedua terlapor juga terletak di Kabupaten Bandung. Adanya penjualan ke pasar Jabodetabek juga bukan menjadi target utama.
Rian menjelaskan penjualan tersebut terjadi karena ada permintaan dari rumah pemotongan hewan (RPH) di wilayah tersebut akibat kekurangan pasokan. RPH tersebut juga memilih untuk mengambil sapi siap potong langsung dari para terlapor.
Terlapor I menjelaskan dari surat izin impor yang didapatkan, pemasaran perusahaan ke Jabodetabek hanya sebesar 10,7% pada 2014, 11,6% pada 2013, dan 17% pada 2014. Penjualan sapi siap potong juga langsung disalurkan ke RPH setempat.
Pihaknya menjelaskan sejak adanya sistem kuota yang diterapkan pemerintah pada 2010, terlapor tidak bisa lagi memaksimalkan kapasitas kandangnya. Rata-rata hanya terisi 20%--30% dari daya tampung maksimal 18.500 ekor.
Andini sendiri telah berupaya untuk memaksimalkan utilitas kandang dengan mendatangkan sapi lokal. Namun, ketersediaan sapi lokal yang semakin menyusut juga mempengaruhi pembelian.
Pada 2012, terlapor I mampu mendatangkan 11.326 ekor, 6.948 ekor pada 2013, enam ekor pada 2014, dan 577 ekor pada 2015. Sapi lokal tersebut didatangkan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Selain itu, lanjutnya, Andini juga telah mengurangi tenaga kerja dan melakukan efisiensi biaya produksi. Hal tersebut dilakukan guna mempertahankan operasional usaha perusahaan.
Rian menuturkan kliennya menolak untuk bertanggung jawab atas terjadinya kenaikan harga daging sapi pada kuartal III/2015. Tidak optimalnya kebijakan pemerintah terkait sistem kuota menjadi alasan utama kenaikan harga tersebut.
Pemerintah, imbuhnya, melakukan penurunan kuota pada kuartal tersebut menjadi hanya 50.000 ekor tanpa menghitung populasi sapi siap potong dan kebutuhan konsumsi. Selain itu, terdapat sejumlah RPH dan pedagang yang melakukan mogok jual karena kurangnya pasokan.
Kliennya mengaku tidak mungkin menjalin persekongkolan dengan feedloter lain terkait penetapan harga maupun pembagian pasar dengan adanya sistem kuota. Pemerintah selalu menerbitkan surat persetujuan impor (SPI) pada kuartal berjalan.
Importir harus mendapatkan SPI tersebut sebelum kuartal berjalan, sehingga bisa mempersiapkan kontrak pembelian dengan perusahaan eksportir asal Australia maupun menyesuaikan jadwal pengapalan.
Sementara itu, investigator dari pihak KPPU enggan untuk dimintai tanggapan. Pihak investigator mengaku tidak berwenang memberikan tanggapan di media massa.