Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) DKI Jakarta menolak dominasi penanaman modal asing (PMA) pada bisnis logistik dan jasa transportasi di dalam negeri hingga di atas 50%.
Sekretaris ALFI DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan dalam Perpres No.39/2014 tentang Dafar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal atau Daftar Negatif Investasi (DNI) disebutkan untuk PMA di bidang usaha logistik dan jasa transportasi hanya boleh maksimal 49%.
"Tetapi kami mendapat informasi dari badan kordinasi penanaman modal (BKPM) bahwa asing atau PMA di sektor usaha logistik dan jasa transportasi di dalam negeri boleh menguasai hingga 67%. DNI itu hendak direvisi dan jika ini yang terjadi kami menolak," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (9/2/2016).
Adil menegaskan, pemerintah semestinya berkomitmen mendorong usaha logistik dan jasa transportasi nasional agar bisa lebih eksis di tengah pemberlakuan masyarakat ekonomi Asean (MEA) saat ini.
"Usaha logistik dan forwarder nasional cukup banyak yang berskala UMKM. Kalau PMA diberi kesempatan menguasai lebih banyak sektor usaha ini maka hampir 75% lebih anggota ALFI di DKI terancam," paparnya.
Adil mengungkapkan, saat ini yang terdaftar aktif sebagai anggota ALFI DKI sebanyak 1.118 perusahaan, sedangkan secara nasional mencapai 3.800 perusahan.
Ketua Lembaga Konsultasi Logistik, Kepabeanan dan Kepelabuhanan (LKK) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI JakartaWidijanto mengatakan revisi Perpres No.39/2014 justru akan makin menyudutkan pengusaha nasional dan Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKMK).
Berdasarkan kajian LKK Kadin DKI Jakarta, kata dia, investor asing selama ini mitranya bukan pengusaha lokal atau Warga Negara Indonesia (WNI), tapi dengan suku bangsa mereka sendiri yang telah membuka perusahaan di Indonesia.
"Jadi investor Jepang mitranya dengan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Investor Korea dengan perusahaan Korea yang sudah berdiri di Indonesia. Demikian juga dari negara-negara lainnya. Ini berarti, tetap saja mereka menguasai 100% saham kegiatan bisnisnya di Indonesia. Akibatnya, pebisnis di negeri ini tidak berkembang pesat seperti di negara tetangga.” ujarnya.
Untuk itu,kata dia apabila beleid itu ingin direvisi sebaiknya dilakukan untuk kegiatan usaha yang bersifat padat modal, menggunakan teknologi tinggi dan sektor usaha yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Dia juga menyoroti kebijakan Kementerian Perdagangan yang mengizinkan industri manufaktur impor barang jadi tanpa batas waktu untuk test market mendorong mereka menjadi trader (pedagang).
Pasalnya, kebijakan ini akhirnya menimbulkan deindustrialisasi, karena dengan mengimpor barang jadi lebih menguntungkan daripada memproduksi barang di Indonesia.
"Supaya tidak terjadi deindustrialisasi, agar impor bahan baku bea masuknya nol persen dan ditambah dengan insentif di bidang perpajakan, sehingga barang yang mereka produksi harganya bisa lebih kompetitif," ujar Widijanto.