Bisnis.com, JAKARTA – Kendati untuk pertama kalinya penerimaan pajak nonmigas tembus Rp1.000 triliun, tax ratio 2015 yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak justru semakin amblas di level terendah sejak 5 tahun terakhir.
Dari laporan Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak nonmigas 2015 tercatat senilai Rp1.005,7 triliun, tumbuh sekitar 12% dari realisasi tahun sebelumnya Rp897,68 triliun. Kendati mengalami akselerasi yang cukup jauh di Desember, realisasi tersebut tetap menyisakan rekor shortfall – selisih antara realisasi dan target – hingga Rp239 triliun.
Dengan estimasi produk domestik bruto (PDB) sementara yang disampaikan pemerintah Rp11.375 triliun, capaian tersebut menghasilkan tax ratio – perbandingan penerimaan pajak dengan PDB – sebesar 8,84%, berada di titik terendah sejak 2010.
Bahkan, dengan tambahan penerimaan PPh migas, kepabeanan dan cukai, tax ratioperpajakan hanya mencapai 10,86%. Angka tersebut meleset dari target 12,7% sekaligus terjun dari level di atas 11% yang selama ini dicatatkan. (lihat tabel).
Kendati tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran kinerja otoritas pajak, Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) berpendapat capaian tersebut memang menunjukkan masih buruknya kinerja pemungutan pajak di Indonesia dibandingkan negara lain.
“Walau demikian harus dipahami bahwa tax ratio tersebut merupakan akumulasi dari ketidakpedulian dari pemerintah dari pemerintah masa lalu atas sektor pajak selama ini,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (6/1/2015).
Oleh karena itu, adanya komitmen yang besar dan dukungan politik untuk melaksanakan reformasi pajak dari pemerintah seharusnya mampu meningkatkan tax ratio di tahun-tahun mendatang. Untuk tahun ini, pihaknya mengestimasi penerimaan pajak total bisa mencapai Rp1.140,94 triliun, jauh dari target yang ada dalam APBN 2016 senilai Rp1.360,2 triliun.
Darussalam juga mengungkapkan seharusnya indikator kinerja DJP terkait kepatuhan pendaftaran dan laporan pajak, pelayanan, kepastian, maupun yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa harus ditingkatkan.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai performa tax ratio tersebut tidak bisa dipandang wajar karena menjadi patokan urgensi reformasi perpajakan.
“Kalau tidak, target pemerintah mencapai tax ratio 16% di 2019 akan sulit. Selama masih tambal sulam seperti ini ya berat,” katanya.
Menurutnya, masalah terbesar selama ini ada pada sistem perpajakan yang belum kuat berbasis data. Atas kondisi ini, pembangunan sistem teknologi informasi yang terintegrasi, merevisi undang-undang dan aturan yang menghambat menjadi relevan dijalankan segera.
Tax Buoyancy
Meskipun tax ratio bukan satu-satunya ukuran kinerja, terus amblesnya indikator tersebut menjadi salah satu indikasi ikut melempemnya tax buoyancy — elastisitas penerimaan pajak terhadap PDB –. Dengan demikian, kapasitas pemungutan pajak dari otoritas semakin menurun.
Pertumbuhan ekonomi, katanya, tidak sebanding dengan pertumbuhan pajak. “Semakin banyak porsi kue potensi yang tidak bisa dipungut pajaknya,” ujarnya.
Penguatan kelembagaan DJP lewat pembentukan badan semi otonom menjadi salah satu prasyarat sistem pajak yang bagus. Kendati demikian, langkah itu tidak menjamin peningkatan elastisitas pemungutan pajak jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan menjawab tantangan yang ada.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam pertemuan bilateralnya dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat di Turki belum lama ini disepakati adanya kerja sama terkait pembelajaran proses penguatan Internal Reveneu Service (IRS) dalam mendorong peningkatan penerimaan pajak.
“Tentunya kita akan buat semacam kerja sama. Tidak perlu MoU karena Treasury Dept AS itu memang ingin memberikan semacam dukungan kepada negara-negara lain, terutama Indonesia untuk memperkuat capacity,” ungkapnya.
Menurutnya, momentum kerja sama itu akan dipakai untuk mempelajari bagaimana proses kerja dan sistem yang sudah jalan serta mapan di IRS bisa diterapkan di Indonesia. Pemerintah, sambungnya, menginginkan agar Ditjen Pajak (DJP) di masa depan bisa sekuat IRS dan menekankan pentingnya kepatuhan pajak dari sisi wajib pajak (WP).
Perkembangan Realisasi Penerimaan Perpajakan (Rp Triliun)
Tahun | PDB | Pajak Nonmigas | Tra (%) | Trb (%) | Perpajakan | Trb (%) |
2015* | 11.375 | 1.005,7 | 8,84 | 9,27 | 1.235,8 | 10,86 |
2014 | 10.094,93 | 897,68 | 8,89 | 9,76 | 1.146,9 | 11,36 |
2013 | 9.087,28 | 832,65 | 9,16 | 10,14 | 1.077,3 | 11,86 |
2012 | 8.230,90 | 752,37 | 9,14 | 10,15 | 980,5 | 11,91 |
2011 | 7.419,20 | 669,65 | 9,02 | 10,01 | 873,9 | 11,78 |
2010 | 6.446,90 | 569,35 | 8,83 | 9,74 | 723,3 | 11,22 |
ket:
*dengan realisasi realtime sesuai paparan pemerintah
Tra: Tax ratio atas pajak nonmigas (yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak)
Trb: Tax ratio atas pajak total (termasuk PPh migas)
Trc: Tax ratio atas perpajakan (tax ratio dalam arti sempit)
Sumber: LTKK, LKPP, Kemenkeu, diolah.