Bisnis.com, JAKARTA--Inovasi kebijakan dibutuhkan demi mendongkrak ekspor manufaktur, sejalan dengan masih suramnya harga-harga dan berlanjutnya perlemahan permintaan komoditas di dunia pada tahun ini.
Tim Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. menyebutkan Indonesia menduduki peringkat kedua yang ekspor di antara negara-negara ASEAN didominasi oleh barang mentah. Tercatat, porsi ekspor komoditas RI ke negara-negara kawasan mencapai 79,6%, hanya di bawah Brunei Darussalam yang mencapai 91,4%.
Dalam riset bertajuk Urgent Reform of Indonesia’s Exports, Ekonom Bank Mandiri Nurul Yuniataqwa Karunia menyebutkan ekspor produk RI tergolong yang paling lemah dibandingkan dengan hampir seluruh negara ASEAN.
"Untuk itu, pemerintah perlu memberi perhatian lebih dalam terhadap situasi ini sehingga ekspor bisa kembali menjadi pilar laju pertumbuhan," ujar Nurul.
Dari sisi makro, paparnya, pemerintah perlu mendorong swasta untuk meningkatkan investasi dalam industri berorientasi-ekspor, seperti pengolahan kelapa sawit, elektronik, pulp dan kertas, pengolahan kayu serta otomotif.
Pasalnya, lanjut Nurul, ekspor dari produk-produk tersebut menjadi pemain penting dan membentuk hampir 40% dari keseluruhan ekspor produk industrial RI.
Dia berpendapat dengan momentum perlemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu belakangan semestinya bisa menjadi momentum untuk mendorong ekspor manufaktur. Hingga November 2015, tercatat nilai ekspor RI melorot hingga 14,3% year-on-year.
"Level kontraksi tersebut merupakan yang terdalam sejak 2009, ketika Indonesia terkontraksi sampai 15% dari sisi nilai," kata Nurul. Namun, Nurul menyatakan mempercepat investasi sektor-sektor tersebut tidak cukup memadai dan perlu dilengkapi dengan tiga hal berikut.
Pertama, terus berupaya meningkatkan peringkat Indeks Performa Logistik (Logistics Performance Index) yang akan menjadi daya dorong tersendiri bagi nilai ekspor. Saat ini, RI berada di peringkat 53, atau jauh lebih baik ketimbang 2010 di posisi 75.
Cara yang bisa digunakan menaikkan performa logistik, kata Nurul, adalah berupaya seoptimal mungkin menurunkan biaya logistik, atau secara lebih spesifik, menurunkan waktu inap-tunggu (dwelling time) dan menyediakan sistem transportasi yang lebih efisien.
Kedua, RI perlu melakukan diversifikasi pasar ekspor dengan mencoba merambah ke negara-negara Afrika seperti Mesir, Afrika Selatan dan Nigeria. Selain itu, pemerintah perlu lebih giat bertarung untuk merebut pangsa ekspor lebih besar di negara-negara intra-ASEAN.
"Pasar Asia Tenggara adalah pasar yang sangat besar dan secara geografis sangat mudah diakses, dan mencerminkan pasar ekspor non-migas yang layak diperjuangkan. Sepanjang tahun lalu hingga November 2015, pangsa ekspor RI kepada negara-negara ASEAN hanya 21% dari seluruh ekspor non-migas," katanya.
Dia mengatakan, permintaan pasar ASEAN juga mulai meluas yang disebabkan terus membengkaknya populasi kelas menengah dan mengarah kepada produk-produk bernilai-tambah seperti elektronik, permesinan dan lokomotif.
Terakhir, perbaikan perlu dilakukan di level mikro, yang berarti adalah dukungan langsung kepada eksportir. Pemerintah, tuturnya, perlu menopang reindustrialisasi domestik dengan cara mengatasi masalah pembiayaan industri berorientasi-ekspor yang amat bergantung pada barang impor mentah, yakni alas kaki, elektronik dan permesinan.
"Dengan cara ini, kami berharap pertumbuhan ekonomi bisa ditopang dengan mempromoskan pemasaran produk kualitas ekspor dengan kandungan lokal tinggi," tukas Nurul.