Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah menyatakan ingin segera merampungkan payung hukum pengampunan pajak (tax amnesty) setidaknya setengah masa sidang awal tahun depan yang dimulai sekitar 11 Januari 2016.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan rancangan undang-undang tax amnesty yang sudah resmi menjadi salah satu program legislasi nasional 2015 tersebut merupakan inisiatif penuh pemerintah sehingga diharapkan dapat rampung secepatnya hingga akhir tahun belum sempat disahkan.
"Kalau bisa setengah masa sidang [selasai], tegasnya di hadapan anggota komisi XI DPR, belum lama ini," seperti dikutip Bisnis.com, Senin (21/12/2015).
Untuk mempercepat kelengkapan instrumen berikutnya, dia menegaskan saat ini dari internal Ditjen Pajak juga tengah menyusun beberapa aturan teknis yang mendukung diimplementasikannya program yang hingga saat ini masih menuai pro-kontra ini.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menegaskan implementasi dari program ini akan segera dilakukan setelah payung hukum resmi disahkan DPR. Pasalnya, sinyal keberhasilan tax amnesty akan menjadi salah satu acuan revisi target penerimaan pajak dalam APBN 2016. Selain itu, sambungnya, data realisasi hingga akhir tahun ini juga akan menjadi patokan.
Dengan target penerimaan pajak total tahun ini Rp1.294,3 triliun, otoritas memproyeksi shortfall selisih antara realisasi dengan target berada di angka sekitar Rp195,7 triliun. Angka ini melebar lagi, walaupun tipis, dari skenario terburuk yang diungkapkan pada awal November lalu sekitar Rp194 triliun.
Terkait dengan perkiraan dana yang hingga saat ini belum disampaikan ke Ditjen Pajak, Bambang berujar data tersebut masih simpang siur. Dia memaparkan dalam satu survei, estimasi jumlah uang lokal di domestik yang belum disampaikan minimal sekitar Rp1.400 triliun. Sementara, yang berada di salah satu negara luar Indonesia ada sekitar Rp2.700 triliun.
Bambang berujar dalam implementasi kebijakan tax amnesty nantinya, pemerintah akan mendorong adanya repatriasi dana yang selama ini diparkir di luar negeri. Pendorongan ini akan bersifat pilihan bagi wajib pajak sehingga berbentuk insentif.
Adapun, dana yang masuk ke dalam negeri nantinya akan diarahkan untuk beberapa skema investasi salah satunya surat berharga negara (SBN). Apalagi, hingga saat ini kepemilikan asing dalam pasar SBN rupiah masih cukup besar, sekitar 37%. Dengan demikian, ada penambahan porsi komposisi investor domestik.
"Pokoknya kita lihat dulu realisasi penerimaan tahun ini dan kemungkinan tax amnesty. APBNP - nya sendiri tidak akan januari memang, akhir triwulan satu atau April. Masih ada waktu. Saya enggak buru-buru APBNP," katanya.
Dalam kesempatan berbeda, dalam sebuah diskusi, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memproyeksi realisasi penerimaan pajak 2015 alamaiahnya hanya akan mencapai 78% hingga 82% dari target. Dengan hitungan optimis 82%, shortfall diperkirakan mencapai Rp232,97 triliun.
Terkait dengan tax amnesty, sisi positif yang bisa diambil dari tidak sempat disahkannya RUU tax amnesty tahun ini yakni masih adanya waktu untuk merevisi draf agar lebih optimal dan sesuai tujuan. Pemerintah, lanjutnya, harus jelas mengkomunikasikan ke publik tujuan dari program ini.
"Pemerintah harus clear, tujuannya untuk apa, meningkatkan kepatuhan [WP], menambah penerimaan, atau merepateriasi uang untuk menggerakkan ekonomi? Harus jelas dulu, idenya beda-beda ini," tuturnya.
Jika tujuannya untuk meningkatkan kepatuhan WP sehingga basis pajak bertambah, pemerintah harus menyediakan insentif bagi yang sudah patuh agar tercipta keadilan. Apabila dilakukan untuk mengejar target penerimaan, pengenaan tarif tebusan 2% pada akhirnya akan membakar hutan yang seharusnya bisa dimitigasi dengan pemeriksaan.
Sementara itu, bila tujuan pemerintah untuk menarik dana dari luar negeri (repatriasi), harus ada skema yang menarik dan win-win solution bagi WP. Menurutnya, skema optional yang diusulkan dengan pemberian insentif di pemangkasan tarif tidak akan efektif karena gap-nya terlalu rendah.
Kendati demikian, Prastowo berpendapatan seharusnya program pengampunan pajak ini dilakukan setelah revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan agar sistem administrasi perpajakan lebih baik dan sinkron.
"[Revisi UU KUP belum ketahuan seperti apa, kok udah pengampunan. Ada logika yang susah dipahami. Jangan mau tersandera kepentingan politik jangka pendek saja. Ini repotnya kalau asal usul tapi tidak punya visi," tegas Prastowo.