Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah tidak akan mengunci batasan insentif yang akan diberikan kepada investor dalam percepatan pembangunan kilang minyak.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan insentif akan bersifat negotiable dan diberikan berbeda-beda tiap investor sehingga tidak diatur secara rinci dalam peraturan presiden yang menjadi satu dari paket kebijakan ekonomi jilid VIII.
"Itu [insentif] memang tidak kita definisikan sama. Kita tanya aja, dia [investor] usulannya apa. Kita kaji, dan kalau kita anggap masuk akal ya kita setujui," ujarnya saat ditemui di kantornya, Senin (21/12/2015).
Kendati demikian, dia memastikan insentif fiskal ataupun nonfiskal akan diberikan. Dia mencontohkan, insentif bagi investor yang datang untuk membenahi kilang di Cilacap dengan teknologi terbaru sehingga meningkatkan produktivitas akan berbeda dengan investor yang membangun dari lahan baru.
Bagi investor yang membuka lahan baru dengan membawa crude oil, sambungnya, akan mendapatkan insentif yang lebih bagus dari investor yang membenahi kilang existing. Apalagi, bagi investor yang menghasilkan bahan bakar minyak dan mengekspornya dipastikan akan mendapat benefit lebih besar.
Dia menyebut fasilitas yang sudah diatur dalam Kawasan Ekonomi Khusus maupun tax holiday secara umum bisa dinegosiasikan. "Sebetulnya, dalam praktiknya, dia bisa meminta enggak sama dengan yang ada," ujarnya.
Seperti diketahui, lewat rilis paket kebijakan kemarin, pemerintah membuka peluang bagi sektor swasta berinvestasi penuh dalam pembangunan kilang. Kendati demikian offtaker-nya penjualan produk hasil kilang tetap ke PT Pertamina (Persero). Skema ini dikarenakan Pertamina lah yang menjamin distribusi hasil kilang ke seluruh Indonesia.
Pembangunan kilang saat ini penting karena tingginya permintaan di tengah rendahnya suplai domestik. Selisih antara permintaan dan penawaran ini diperkirakan melebar hingga sekitar 1,2 1,9 juta barel per hari pada 2025 jika tidak ada penambahan kapasitas produksi.
Darmin berujar pembangunan kilang minyak belum dilakukan lagi sejak 21 tahun terakhir. Pembangunan terakhir terjadi pada 1994 di Balongan dengan kapasitas 125.000 barel per hari. Indonesia, sambungnya, perlu membangun kilang dengan kapasitas 300.000 barel per hari.
Setidaknya ada empat kilang yang beroperasi dan perlu perbaikan yakni di Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai. Tahun depan, kilang baru yang akan dibangun ada dua lokasi, yakni Bontang dan Tuban.
Pembangunan kilang baru akan diintegrasikan dengan industri petrokimia agar lebih menarik dari sisi profitabilitas. Selain itu, mantan Gubernur Bank Indonesia ini mengatakan pengintegrasian kilang dengan petrokimia akan menekan laju defisit transaksi berjalan. Selama ini hasil industri petrokimia menjadi kebutuhan utama yang minim suplai dari domestik.
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan skema negotiable itu harus tetap memuat kepastian hukum bagi investor apalagi saat terjadi perubahan regulasi dan rezim.
Kendati demikian, pihaknya mengimbau agar pemerintah memberikan kepastian di dua aspek yakni, pertama, regulasi terkait hak yang sudah menghasilkan minyak. Regulasi ini memuat kepastian diserapnya seluruh hasil kilang oleh Pertamina agar bisa didistribusikan.
Kedua, terkait dengan kepastian formula harga. Harga minyak dunia memang berfluktuasi. Oleh karena itu, dengan kepastian formula, investor bisa memperhitungkan biaya operasional sehingga mampu mengestimasi margin keuntungan.